Sabtu, 10 Mei 2014

Gerakan Metal Satu Jari: Agama Sebagai Produk Globalisasi dan Fenomena Perang Ideologi Melawan Westernisasi

Tak bisa dipungkiri lagi dalam masa kini batasan-batasan antar negara makin kabur atau bisa dikatakan menghilang. Hal ini disebabkan adanya seperangkat proses yang menciptakan kondisi di mana setiap pojok bumi menjadi terhubung atau dengan kata lain terciptanya interkoneksitas. Seperti apa yang dikatakan oleh Malcom Waters dalam bukunya yaitu Globalization (London: Routledge,. 1995), ia mengatakan bahwa globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang.
Berbicara mengenai globalisasi, pastinya tak lepas dari pembicaraan dampak yang diakibatkan oleh proses ini. Mengkategorikan dampak positif maupun negatif dan membandingkan hal mana yang lebih berpengaruh adalah sebuah perspektif awam. Hal ini dikarenakan globalisasi adalah sebuah konstruksi di mana terdapat friksi-friksi yang menyebabkan resistensi dan kemudian muncul sekelompok masyarakat yang merasa terancam, yang mengakibatkan munculnya gerakan militan seperti militan agama.
Sejarah tak luput dari pembahasan mengenai globalisasi karena sejarah juga terkoneksi dengan dunia global atau menyebabkan jalinan interkoneksitas dan tidak bisa terpisahkan dari sejarah manusia. Dalam hal ini, relevansi bagi antropologi mencakup transformasi tatanan politik dan ekonomi  yang mengakibatkan transformasi sosial juga transformasi budaya.
Sejarah proses akumulasi global yang dimulai sejak imperialisme Barat pada abad ke-15 telah membawa ketimpangan relasi kekuasaan maupun penumpukan kekayaan secara tidak seimbang dalam skala global. Namun, banyak perspektif mengenai globalisasi yang sarat akan pada isu-isu ekonomi di mana isu-isu yang lain seperti dikesampingkan atau tidak berpengaruh kuat terhadap proses globalisasi ini. Globalisasi tidak hanya merupakan isu-isu ekonomi saja, tetapi juga bersinggungan dengan berbagai macam isu, salah satunya adalah isu agama. Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan sebuah fenomena yang berkaitan dengan isu agama dan isu seni musik yaitu mengenai kemunculan dan eksistensi dari One Finger Movement atau Gerakan Metal Satu Jari dalam komunitas Salam Satu Jari di Indonesia.

Agama Sebagai Produk Globalisasi

      Tulisan ini akan memaparkan mengenai fenomena agama Islam di tengah hingar-bingarnya proses globalisasi. Tak jarang, globalisasi dianggap sebagai hal yang negatif karena sarat akan ekspansi dari negara-negara adikuasa seperti kapitalisme yang merajalela. Fenomena kapitalisme menggambarkan bagaimana negara-negara tersebut mampu mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara Dunia Ketiga tidak mampu bersaing dengan digempurnya berbagai macam kegiatan yang mengarah ke kapitalisme. Tak hanya itu, globalisasi juga mempengaruhi dimensi budaya karena adanya perkembangan interaksi melalui media massa seperti dari televisi, musik, dan film. Sajian hiburan tersebut tentunya akan dikonsumsi oleh seluruh dunia yang akan memberikan perspektif baru terhadap diri kita.
Agama juga merupakan produk dari globalisasi di mana ada suatu keteraturan umum yang dibangun dalam lingkup tersebut dan adanya pemahaman kita mengenai dunia. Dalam dimensi agama, Clifford Geertz mengatakan bahwa dalam suatu religi atau agama terdapat konsep moods and motivation lalu ada kegiatan ritual, simbol, dan emosi yang merupakan karakter dari definisi agama. Pondasi dasar dari agama adalah untuk memahami dunia, maka dari itu globalisasi memiliki relasi yang kuat dalam lingkup agama.
Dalam subjek modern, agama dipahami sebagai sebuah istilah untuk mendefinisikan suatu gejala umum yang terjadi pasca abad pencerahan di Eropa. Orang-orang Eropa tentunya melakukan kontak pertama dengan wilayah koloni, di mana harus memahami konteks masyarakat yang berbeda seperti mereka memiliki agama dan aktifitas ekonomi yang berbeda. Adanya kebudayaan atau peradaban tertentu ditengah kebudayaan yang dijumpai. Dalam hal ini, adanya kegiatan mengkategorisasikan the others yang merupakan konstruksi orang Eropa terhadap yang ”lain”. Eropa memposisikan diri mereka menjaci yang paling utama, yang paling maju, dan paling beradab di mana sarat akan konsep modern.
Merujuk pada kategoriasi terhadap ”yang lain” atau the others, hal ini membuktikan bahwa adanya cara melihat dunia atau cara melihat yang lain dalam kategoriasi terhadap orang yang berbeda dengan diri kita. Islam kemudian menjadi salah satu contoh yang menjadikan adanya subjek modern. Terbentuknya konsepsi ini bersamaan dengan kekuasaan dan ekspansi karena harus mengontrol, harus mendefinisi, dan harus melihat permasalahan. Contohnya adalah ketika koloni datang, masih ada orang-orang yang percaya terhadap aliran animisme. Dari ekspansi tersebut adanya kegiatan mengkategorikan. Secara moral, orang-orang tradisional tersebut salah atau dianggap orang sesat, maka dari itu mereka harus dimasukkan ke dalam peradaban modern. Konsepsi ini menggunakan idiom yang berangkat dari agama Islam dan Kristen yang memiliki ciri untuk memahami ”manusia yang lain” sebagai suatu objek yang dicerahkan.

Modernitas sebagai moral order

Dahulu kafir ----------------------------à sekarang beragama
                                                          ’moral time’

Bagi orang Eropa, animisme adalah masa di mana adalah ”masa mereka di masa lalu”. Istilah kolonialisme dan gospel selalu berhubungan karena adanya justifikasi moral dan religi yang digunakan untuk melihat dan membuat, yang dilakukan oleh koloni menjadi legitimate, dalam konteks kolonialisasi. Dalam konteks Islam pun juga mengalami hal yang serupa.
Di lingkup kajian agama dan negara, suatu agama dikatakan adalah agama jika memiliki Tuhan, kitab suci, dan umat.  Agama juga memainkan peranan penting dalam narasi pembangunan. Agama menjadi penting karena mereka harus ikut dalam narasi pembangunan. Menjadi beragama adalah menjadi modern dan menjadi maju, inilah yang disebut program pembinaan agama. Di Indonesia, pada masa orde baru, agama menjadi penting sebagai identitas yang disajikan dalam Kartu Tanda Penduduk sebagai konteks administratif. Negara juga mendisiplinkan yang tidak terima terhadap agama modern. Kini, kebangkitan adat atau aliran kepercayaan menjadi respons agama modern karena agama dicirikan sebagai identitas modern.
Seperti yang telah dipaparkan di atas mengenai globalisasi mengakibatkan munculnya gerakan militan seperti militan agama karena terdapat friksi-friksi yang menyebabkan resistensi dan kemudian muncul sekelompok masyarakat yang merasa terancam. Gerakan militan Islam dapat dilihat dari beberapa aspek seperti teologi, politik, budaya, dan pendidikan. Dalam aspek teologis,  ajaran Islam sangat resisten terhadap perbedaan pandangan tentang sekularisasi. Dalam fenomena modern dianggap bahwa sekularisasi hanya akan menghilangkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Agama dan sekularisasi sering diposisikan sebagai dua entitas yang berlawanan.
Tak jarang juga diamati dari berbagai literatur maupun media massa, globalisasi dianggap sebagai kelanjutan dominasi dan hegemoni Barat dari sisi intelektual Muslim. Dikutip dari tulisan Respon Umat Islam Terhadap Globalisasi dari Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Surabaya, dikatakan bahwa Amerika memanfaatkan globalisasi untuk meruntuhkan norma-norma politik, ekonomi, dan budaya yang eksis di negara-negara non Barat. Dalam konteks ini, Amerika juga menggunakan yayasan-yayasan budaya dan ideologi globalisasi yang mana bertujuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan imperialismenya tanpa menyebabkan reaksi-reaksi revolusioner, seperti yang pernah dilakukan oleh imperialisme Barat pada masa lalu. Fine power merupakan istilah yang sangat tepat untuk menggambarkan pemanfaatan yayasan-yayasan milik Amerika tersebut.
Dalam bukunya Mark Levine yaitu Heavy Metal Islam (2008), ia mengatakan bahwa pengalaman umat Islam terkait globalisasi dimaknai sebagai sebuah ‘a post-modern culturalism yang erat dengan kulturalisasi politik dan ekonomi, sebagai momen yang menegaskan terjadinya globalisasi kontemporer. Dalam menghadapi diskursus semacam ini, intelektual Muslim meminta apa yang dinamakan ”hak untuk berbeda” secara kultural yang merujuk pada istilah the others yang sudah dipaparkan sebelumnya.
Penolakan umat Islam tehadap globalisasi lebih diasosiasikan dengan westernisasi, yang mana merekonstruksi nilai-nilai non Barat dan oleh para intelektual Muslim, globalisasi dianggap sebagai ghazwul fikri yaitu perang pemikiran). Westernisasi merupakan adanya proses pengadopsian budaya Barat dalam bidang industri, teknologi, hukum, politik, ekonomi, gaya hidup, abjad, agama, filsafat, serta nilai-nilai.

Kemunculan Gerakan ”Salam Satu Jari” Dalam Memerangi Ideologi Barat Melalui Musik Metal

To whom it may concern, which testify to Syahadat. Israel had declared a war by throwing words.  Let’s fight in the name of Allah, jihad fi sabilillah. (Bagi siapa pun yang merasa telah bersaksi dan menyebut Syahadat. Israel telah menyatakan perang dengan menggunakan kata-kata atau ideologi, mari berperang dengan atas nama Allah. Mari berjihad di jalan Allah)
[Jihad – Tengkorak]
               
Salah satu bentuk gerakan yang muncul akibat fenomena globalisasi terutama peperangan melawan westernisasi dalam lingkup agama yaitu agama Islam adalah kehadiran Gerakan Metal Satu Jari atau One Finger Movement. Di Indonesia, gerakan ini menamakan diri mereka Salam Satu Jari yang mana anggotanya adalah personil band underground juga penikmat musik underground yang mencoba melawan westernisasi di mana dianggap tidak sesuai dengan akidah Islam dan budaya di Indonesia.  Komunitas ini lahir dari sebuah acara bertajuk Garage Festival, sebuah konser musik metal yang khusus diperuntukkan untuk korban kemanusiaan di Palestina.
Dilansir dari situs Jaringan Berita Terluas Di Indonesia dalam artikel Berjihad Lewat Musik Underground, Ubah Salam Metal Jati Satu Jari Tauhid dikatakan bahwa dalam komunitas Salam Satu Jari, salam metal yang sarat dipraktekan dengan dua jari yaitu jari telunjuk dan jari kelingking, kini dipraktekkan hanya menjadi satu jari. Hal ini menandakan satu makna yaitu tauhid atau satu Tuhan yang merujuk pada Laailaha Illallah dengan tujuan membela Islam, tidak yang lain dan hanya ada satu Tuhan yaitu Allah Yang Maha Esa. Salam metal dua jari dipercaya sebagai simbol pemujaan setan, maka dari itu komunitas Salam Satu Jari ingin mengubah persepektif tersebut menjadi suatu kebenaran.
Mempraktekan simbol metal dengan dua jari bagi komunitas ini merupakan konsep satanisme. Salah satu vokalis band metal yang tergabung dalam komunitas ini yaitu vokalis dari band Tengkorak, Ombat, mengatakan bahwa konsep satanisme digunakan oleh band-band metal sebagai sebuah kreativitas dalam aksi panggung. Seiring berjalannya waktu dengan perkembangan teknologi yang tinggi dan menghilangkan batasan-batasan antar belahan dunia, membuat musik metal menyebar dan berkembang yang kemudian meraup banyak penggemar musik ini. Tak ayal, banyak dari band-band metal ini secara tak sadar menggerakan massa untuk menggunakan simbol yang menyekutukan Tuhan. Fenomena ini juga dianggap sebagai cara penjajahan baru yang digunakan zionis dan kaum sekuler untuk menjauhkan anak muda dari agama.

Metal Satu Jari Ala Tengkorak (Photo: Hai Online)

Kini, komunitas Salam Satu Jari menjadi sebuah gerakan metal muslim yang menjunjung nilai-nilai keislaman dan telah tersebar di penjuru Indonesia seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, hingga Makassar. Kegiatan gerakan Salam Satu Jari ini diantaranya adalah ketika pertunjukan musik underground sedang berlangsung, mereka akan mengumandangkan takbir di sela-sela pertunjukan. Mereka juga menghentikan acara ketika adzan berkumandang dan melaksanakan salat secara berjamaah.
Salah satu band metal ternama Indonesia yang juga tergabung dalam gerakan ini adalah Purgatory yang menyisipkan pesan positif dalam setiap liriknya. Purgatory menyatakan bahwa mereka berbeda dengan band-band metal lainnya karena mengajak para penikmat musik metal untuk berpegangan pada tauhid yang murni.  Pada album-albumnya, Purgatory secara terang-terang menyerukan taujih ruhiyah, obsesi terhadap akhirat, dengan musik mereka. Semua lagu yang mereka gemakan mengandung nilai amar ma’ruf nahi munkar, sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat dan dalam syariat Islam hukumnya adalah wajib.
Pada abad ke-14, di tanah Jawa terdapat sebuah kegiatan penyebaran agama Islam oleh wali songo yang berdakwah dengan wayang kulit, gamelan, dan filosofi simbol pada orang-orang kejawen, yang pada saat itu masih menganut animisme dan dinamisme. Terkait dengan dakwah agama Islam pada masa kini, Purgatory melalui Salam Satu Jari juga berdakwah dengan musik metal kepada orang-orang metal untuk membebaskan mereka dari paham sesat yang sering terdapat dalam lagu-lagu metal bersimbol kepala kambing dan pentagram.
Band-band metal yang tergabung dalam gerakan Salam Satu Jari ini menyatakan diri mereka berbeda dengan kebanyakan band metal lainnya, merujuk pada  prinsip dan idealisme Islam dan anti-Zionis yang diusung. Dari segi lirik, tentunya juga terdapat perbedaan dengan lirik lagu metal lain yang bertema anti Tuhan, memuja setan, dan kebebasan. Contohnya, lirik-lirik lagu Tengkorak yang berpedoman pada sirah nabawi, Al-Quran, dan hadist yang merupakan perjuangan anak band underground untuk berjihad dengan musik.
Dikatakan juga bahwa awal kemunculan gerakan Salam Satu Jari terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu di mana beberapa band metal seperti Tengkorak dan Purgatory mendapatkan hidayah dan tersadar bahwa karya musik mereka adalah konspirasi Barat untuk merusak generasi muda. Sejak saat itu, mereka memutuskan membawakan aliran musik tauhid. Meskipun alirannya tetap metal yaitu terdiri dari komposisi musik yang keras dan tempo yang cepat, lirik yang disajikan memiliki pesan anti pemurtadan oleh Israel dan Amerika Serikat.
Di masa kini dengan gempuran globalisasi yang makin menghilangkan batasan-batasan, gerakan Salam Satu Jari meyakini bahwa menyebarnya kajian seni, dalam hal ini musik metal, yang dialirkan dari Barat memiliki makna-makna tersembunyi. Gerakan ini meyakini bahwa negeri Zionis dan Amerika Serikat tidak memerlukan serangan fisik untuk menghancurkan negara-negara Muslim, melainkan hanya menyerang melalui budaya yang meliputi seni dan gaya hidup seperti penggunaaan obat-obatan terlarang, minuman keras, dan aliran musik underground yang mendewakan simbol setan dan anti-Tuhan. Dalam dunia musik internasional, banyak penikmat musik underground yang benar-benar menyembah simbol-simbol setan, dajjal, dan simbol okultisme atau aliran ilmu sihir yang berasal dari Yahudi. 
Dari fenomena tersebut, gerakan metal satu jari tersadarkan bahwa musik bisa menjadi alat dan doktrin untuk pembodohan. Maka dari itu, gerakan Salam Satu Jari hadir sebagai sarana dan wadah yang membangun perspektif baru yaitu bermusik, tetapi punya moralitas dan tetap religius. Gerakan ini sangat meyakini bahwa Islam adalah agama universal dan diterima semua kalangan bahkan meyakini bahwa pemuja setan dapat bertobat dan memeluk Islam jika media dakwah yang disampaikan sesuai dengan kehendak hati mereka. 

Salam Satu Jari (Photo: kaskus.co.id)

Melalui fenomena gerakan Salam Satu Jari ini tergambarkan bahwa konsep agama sebagai produk globalisasi makin terlihat, telah dijelaskan sebelumnya bahwa adanya suatu keteraturan umum yang dibangun dalam lingkup tersebut dan adanya pemahaman mengenai dunia. Hal ini didasarkan pada pondasi dasar dari agama adalah untuk memahami dunia yang membuat globalisasi memiliki relasi yang kuat dalam lingkup agama. Agama dalam subjek modern merupakan istilah untuk mendefinisikan gejala umum yang membuat manusia harus memahami konteks masyarakat yang berbeda. Muncullah kegiatan mengkategorisasikan the others yang merupakan konstruksi individu terhadap yang ”lain” yang membuktikan bahwa adanya cara melihat dunia atau cara melihat yang lain dalam kategoriasi terhadap orang yang berbeda dengan diri kita.
Gerakan Salam Satu Jari menjadi contoh dari kajian subjek agama modern karena mereka membedakan ”yang lain” yaitu yang menganut konsep satanisme, zionis, juga bisa disebut ajaran sesat atau orang kafir. Karena ada pengkategorisasian terhadap ”yang lain” dan dianggap sesat atau tidak benar, gerakan Salam Satu Jari bermaksud untuk ”mencerahkan” manusia yang lain tersebut. Terjadi moral time di mana gerakan Salam Satu Jari ini memberikan pesan-pesan yang mereka anggap positif dan mengajak penikmat musik underground untuk mengikuti jalan yang benar atau dengan kata lain ”mencerahkan” melalui salam satu jari yang berarti Tuhan hanyalah satu, yaitu Allah.
Peperangan melawan westernisasi juga tergambarkan dari bagimana gerakan ini memerangi ideologi Barat, dalam kasus ini adalah westernisasi. Dikatakan bahwa gerakan Salam Satu Jari menentang keras ideologi-ideologi Barat yang mereka bawa ke seluruh dunia melalui media massa seperti film, musik, dan buku seperti kegiatan memuja minuman keras dan seks bebas. Metal yang sebelumnya militan, kini dianggap tidak militan karena sudah masuk dalam dunia hedonis, yang dalam hal ini merupakan konsepsi masyarakat Barat. Gerakan Salam Satu Jari memiliki misi untuk mengubah pespektif dunia metal dan musik underground agar tidak terjerumus dalam dunia gelap seperti yang dianut oleh masyarakat Barat. Strategi ini dianggap oleh pengikut gerakan Salam Satu Jari dengan perang ideologi yang mana musik menjadi sebuah senjata untuk melawan dan bertahan dari fenomena westernisasi.
Dalam hal ini, terlihat adanya transformasi sosial yang disebabkan oleh proses akumulasi global yaitu westernisasi yang seolah-olah “menyerang” seluruh belahan dunia, terutama ke Asia yang notabenenya merupakan negara dunia ketiga. Transformasi sosial ini disebabkan karena adanya kontak dengan kebudayaan lain yaitu melalui musik. Transformasi yang terjadi dalam aspek budaya yaitu lingkup seni musik beraliran metal dan underground, di mana biasanya metal didefinisikan sebagai aliran musik yang sesat karena sarat akan simbol-simbol pemujaan setan. Dari fenomena yang telah tertanam oleh banyak orang tersebut, gerakan Salam Satu Jari membuat perubahan mengenai perspektif metal sebagai aliran musik yang ternyata tidak sarat akan perkumpulan orang sesat, namun juga bisa menjadi suatu gerakan yang mengajarkan kebenaran dan sarana ”mencerahkan” terhadap ”yang lain”.

Referensi:

Escobar, A.
1995. Encountering Development. New Jersey: Princeton University Press.
Geertz, Clifford
1966. Anthropological Approaches to the Study of Religion. London: Tavistock Publications
Madjid, Nurcholis
1998. Islam, Kemodernan, dan Keindoonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan.

Internet:
Artikel Berjihad Lewat Musik Underground, Ubah Salam Metal Jadi Satu Jari Tauhid dalam situs Jaringan Berita Terluas di Indonesia http://www.jpnn.com/read/2011/03/09/86165/Berjihad-lewat-Musik-Underground,-Ubah-Salam-Metal-jadi-Satu-Jari-Tauhid- 

Artikel Respon Umat Islam Terhadap Globalisasi dalam situs Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Surabaya http://inpasonline.com/new/respon-umat-islam-terhadap-globalisasi/ 

Artikel The Black Revolution, A Review of Heavy Metal Islam: Rock, Resistance, and the Struggle for the Soul of Islam by Mark LeVine http://www.criticalglobalisation.com/Issue%201/141_144_JCGS1_HOUWELINGEN_HEAVYMETALISLAM.pdf 


Dilema Dikotomi Esensialisme dan Konstruksi Sosial Dalam Kajian Seksualitas

Jika berbicara mengenai kajian seksualitas, pastilah tidak terlepas dari dikotomi teori esensialisme dan konstruksi sosial.  Sebelum menelaah lebih lanjut mengenai perdebatan dikotomi antara esensialisme dan konstruksi sosil, ada baiknya untuk menelusuri apa yang dimaksud dengan seksualitas. Seksualitas merupakan aspek sentral manusia sepanjang hidup yang mencakup seks, identitas, peran gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, keintiman dan reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, keyakinan, sikap, nilai, dan relasi. Meskipun seksualitas dapat mencakup semua dimensi tersebut, namun tidak semuanya selalu dialami. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, etika, hukum, sejarah, serta agama dan spiritual.

(Photo: andiegoddesofpickles.bogspot.com)

Teori esensialisme hanya mengakui keberadaan dua identitas yaitu perempuan dan laki-laki, juga dengan pandangan bahwa perempuan harus berperilaku sesuai konsepsi perempuan yang telah ada di masyarakat, begitu pula dengan laki-laki. Teori esensialisme juga mengakui adanya satu orientasi seksual, yaitu heteroseksual. Esensialisme melihat bahwa adanya hakikat secara absolut pada seksualitas dan menggunakan sebutan takdir ketika membicarakan permasalahan seksualitas yang mana tidak dapat diganggu gugat pembenarannya. Esensialisme menganggap bahwa sexual attract seperti ketertarikan dan orientasi seksual itu inheren, tidak bisa diubah dan didapati sejak lahir. Esensialisme juga mempercayai bahwa hormon dan pengaruh genetik mempengaruhi seksualitas.

Lain halnya dengan teori konstruksi sosial, teori ini melihat bahwa realitas yang kita ketahui dan alami sekarang, munculnya adalah dengan proses konstruksi masyarakat. Perspektif ini melihat bahwa gender bukan merupakan sesuatu yang inheren, tetapi didapatkan dari masyarakat dari interaksi. Sebagai contoh, kita mendapat peran yang kita punya sekarang dan bahasa berperan penting dalam realita sosial yang kita miliki. Kate Millet (Sexual Politics, 1949) melihat bahwa gender bukan pembawaan biologis, melainkan dikonstruksi secara sosial dan dilanggengkan oleh institusi sosial dan konstruksi kekuasaan.

Perdebatan mengenai esensialis dan konstruksi sosial terus berkembang hingga sekarang. Sejarah mengenai pembangunan seksualitas modern tidak boleh luput, seperti adanya kepentingan negara dalam mengatur seksualitas (sexuality as a contested domain). Pendekatan konstruksi sosial mengadopsi pandangan tindakan seksual yang mana konstruksi ini tidak hanya mempengaruhi subyektivitas individu dan perilaku seperti frame budaya. Dalam cultural-influence models of sexuality, adanya pengaruh budaya dalam mempengaruhi tindakan sosial seperti sex causes gender (menstruasi dan kehamilan adalah hal yang alamiah dan esensisal) dan gender causes sex (hal yang dibuat oleh masyarakat seperti laki-laki harus bekerja dan perempuan harus berada di domestik).

Esensialisme dan konstruksi sosial adalah perihal-perihal yang selalu memperdebatkan posisi seksualitas dalam masyarakat. Esensialisme berangkat dari pendekatan biomedis yang melihat bahwa sex adalah inheren, hasrat seksual dan ketertarikan seksual adalah inheren. Sedangkan, pada persepektif konstruksi sosial, seksualitas manusia lebih dibentuk oleh lingkungan sosial dan budaya juga sejarah.

Dari pemaparan mengenai esiensialisme dan konstruksi sosial yang seolah-olah bertentangan, mengantarkan kita pada pertanyaan: apakah kita harus mempunyai pandangan yang berbeda? Dengan berpikir bahwa seksualitas adalah inheren secara biologis? Atau seksualitas adalah bentukan masyarakat? Pada kenyataannya, kita harus menyadari ada aspek-aspek biologis yang berpengaruh pada seksualitas dalam diri kita, dan ada juga kehidupan sosial yang dipengaruhi konstruksi sosial dan budaya. Sebagai contoh dalam proses hubungan seksual antar suami istri, istri melakukan hubungan seksual karena wajib, bukan karena kepuasan seksual itu sendiri. Mungkin secara biologis perempuan tidak dapet kepuasan, tetapi dari segi sosial, hal tersebut merupakan kewajiban.

Contoh lainnya adalah konsep virginity atau keperawanan. Konsep virginitas yang sarat akan esensialis yaitu berhubungan dengan sistem reproduksi, dibentuk oleh masyarakat. Sebagai contoh mengapa perempuan sangat gelisah ketika sudah melakukan hubungan seksual? Cara pandang yang esensialis, namun juga dibentuk atau dikonstruksi oleh masyarakat. Dari dua contoh tersebut, makin mengantarkan saya pada pertanyaan yang telah saya ungkapkan diatas: apakah kita harus memiliki cara pandang yang berbeda, yang murni esensialis atau murni konstruksi sosial?

Referensi:
DeLamater, J.D  and Hyde, J.S.

1998. Essentialism vs. Social Constructionism in the Study of Human Sexuality. Journal of Sex Research 35 (1): 10-18 

Pengaruh Sosial Dalam Fenomena Placebo

Dalam dunia medis, terdapat istilah untuk terapi atau pengobatan yang tidak memiliki bukti kegunaan bagi kesembuhan pasien, istilah ini disebut placebo. Placebo tidak hanya dalam bentuk obat-obatan saja, tetapi juga dalam bentuk prosedur medis lainnya. Dalam kata lain, placebo merupakan sebuah tindakan medis yang dipalsukan oleh penyembuh (dalam hal ini dokter) yang dipercayai bahwa memiliki dampak positif bagi pasien yaitu berupa kesembuhan. Efek dari placebo, melalui banyak penelitian telah menunjukkan bahwa kekuatan pikiran adalah faktor yang terpenting dalam fungsi tubuh manusia. Melalui kemampuan untuk menciptakan atau menghapuskan gejala dengan seketika dalam pikiran manusia, efek obat dapat dan telah digantikan oleh hanya dengan kekuatan keyakinan.

Placebo memang bertujuan untuk mengendalikan efek dari sebuah harapan ditambah keyakinan dari pasien terhadap kesembuhan. Sebuah keyakinan terhadap pengobatan akan tumbuh dalam diri manusia yang mana akan membantu pasien menggerakan diri mereka sendiri untuk menyelesaikan permasalahan, dalam hal ini berjuang pada penyakit yang diderita untuk mencapai kesembuhan. Saat proses menyelesaikan permasalahan tersebut, pasien tidak melihat apakah zat-zat yang mereka terima merupakan zat aktif secara kimiawi mengandung unsur penyembuh atau tidak aktif.

Fenomena placebo ini sering dijalankan dalam kegiatan penyembuhan profesional, seperti penyembuhan dari dokter di rumah sakit. Pasien yang datang ke rumah sakit pastinya memiliki tujuan untuk berobat dan mendapati kesembuhan. Setelah diperiksa oleh dokter, pastinya dokter akan memberikan resep obat pada pasien. Tak jarang, resep tersebut berisikan pil atau tablet gula, yaitu pil dan tablet yang faktanya tidak mengandung bahan obat-obatan namun dikondisikan seperti obat-obatan dalam hal pada umumnya. Saat diberi resep, dokter juga memberikan nasihat agar obat diminum sesuai prosedur agar mendapatkan kesembuhan, biarpun sebenarnya penyakit yang diderita pasien tidak perlu diberikan obat.

Dalam beberapa kasus penelitian, telah dibuktikan bahwa orang-orang yang mengalami sakit dan kemudian diberikan resep obat tanpa kandungan kimiawi apapun menciptakan kesembuhan sebenarnya karena keyakinan yang tertanam saat telah meminum obat. Dari fenomena placebo ini terbukti bahwa sikap dan perilaku pasien memainkan peranan penting dalam proses penyembuhannya.  Pasien yang percaya kepada dokter dan obat yang diberikan, diyakini mempunyai  peluang lebih besar untuk sembuh dengan lebih cepat bahkan sembuh secara total dibandingkan pasien yang bersikap atau mempunyai pikiran sebaliknya.  Dalam kegiatan penyembuhan ini, pasien akan menjadi lebih tenang dan percaya diri. Pada akhirnya, mereka akan merasakan rasa sakitnya perlahan berkurang, pada faktanya mereka sebenarnya tidak memperoleh obat yang memiliki kandungan zat menyembuhkan.

(Photo: www.drugsdb.com)

Dari pemaparan di atas terbukti bahwa kemampuan obat dalam hal menyembuhkan bukanlah hanya dari kekuatan zat yang terkandung dalam obat tetapi juga dari kepercayaan pasien terhadap obat tersebut bahwa obat tersebut dapat menyembuhkan atau disebut dengan bioligacilly efficacious.

    Selain keyakinan dan harapan yang datang dari diri pasien itu sendiri, saya melihat bahwa adanya pengaruh dari peranan aspek sosial yang bermain dalam fenomena placebo. Aspek tersebut berasal dari luar individu si penderita sakit, bisa keluarga maupun kerabat lainnnya. Peran sosial tersebut berupa pernyataan yang bersifat memerintah seperti perintah untuk meminum obat agar sembuh. Fenomena ini pun juga terjadi pada keluarga saya di mana ibu saya sering berkata “Ayo obatnya di minum, bagaimana mau sembuh jika obatnya tidak diminum.” Hal ini menurut saya merupakan salah satu pengaruh terhadap pembentukan keyakinan dalam diri bahwa ketika kita telah meminum obat, kita akan mendapatkan kesembuhan karena obat tersebut.

         Perintah tersebut membawa kita agar meyakini jika sakit kita harus pergi ke dokter dan mendapatkan obat sesuai prosedur, lalu meminumnya agar sembuh. Kegiatan tersebut tentunya akan sangat melekat di pikiran, setiap usai meminum obat akan mendapatakan sugesti bahwasanya besok atau lusa akan terbebas dari penyakit. Pernyataan yang melekat tersebut kemudian akan membawa kita pada kejadian lainnya dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda terhadap kesembuhan penyakit. Misal, saat teman atau adik sakit, pernyataan yang dibawa oleh orang tua bahwa harus meminum obat agar lekas sembuh atau dalam kata lain obat akan membawa kesembuhan akan membawa kita kembali terhadap keyakinan tersebut. Tak jarang kita juga akan memberikan nasihat atau perintah yang sama jikalau di lingkungan sekitar ada yang terkena penyakit. Menurut saya, dari hal tersebut tergambarkan bagaimana pengaruh sosial terhadap keyakinan obat sebagai penyembuh tertanamkan dalam pikiran dan dilanggengkan secara turun menurun.

Referensi:

Van der Geest, S. dan S.R.Whyte
1989. The Charm of Medicines: Metaphors and Metonyms Medical Anthropology Quarterly, New Series.
 William, WF.
2000.  Encyclopedia of Pseudoscience.  New York: Book Builders Inc.


Perubahan Penggunaan Obat Kimia Menjadi Non-Kimia Pada Lahan Tambak Desa Cangkring, Indramayu

Desa Cangkring, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu merupakan daratan yang terletak di pesisir utara pulau Jawa Barat. Posisi Desa Cangkring yang berada di pesisir menyebabkan lahan-lahan yang terdapat di desa ini dijadikan lahan tambak, di mana dahulunya merupakan lahan sawah. Maka dari itu, mata pencaharian yang sering dijumpai di desa ini adalah petambak dan nelayan.Menurut pemaparan warga Desa Cangkring, dahulu lahan yang berada di Desa Cangkring kebanyakan adalah lahan sawah. Namun, pada tahun  1921, aliran sungai Cimanuk pindah menuju ke Waledang. Hal ini menyebabkan perubahan di mana kondisi air berubah yaitu dengan fenomena naiknya air asin. Sekitar 200 hektar lahan sawah terkena dampak air asin yang kemudian dijadikan tambak oleh para petani.

Diperkirakan pada tahun 1921, 300 hektar menjadi tambak dan kini semuanya berubah menjadi tambak. Hal ini dikarenakan sawah dinilai tidak menghasilkan terkait kadar air, sawah memerlukan air tawar sementara di Desa Cangkring kadar airnya tercampur antara air tawar dan air asin, di mana air asin menempati posisi bawah dan air tawar menempati posisi atas yang tidak cocok untuk lahan sawah. Alih fungsi lahan sawah menjadi lahan tambak tentunya juga dikarenakan penghasilan yang menjanjikan atau dalam rangka memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada menanam padi.

            Selain itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan lahan sawah menjadi lahan tambak. Pertama adalah rusaknya pintu air yang menyebabkan air asin masuk ke lahan sawah dan menjadikan sawah menjadi tidak produktif. Faktor kedua adalah meningginya harga udang pada tahun 1997. Saat terjadi krisis moneter, harga udang mencapai Rp 130.000,00/kg. Melalui harga yang fantastis ini, sekitar 50% lahan sawah berganti menjadi lahan tambak. Awalnya, fenomena ini dimulai saat seorang petani menggarap tambak di pinggir sungai dan sawahnya, kemudian tambak udangnya menuai hasil panen yang baik dan harga jualnya baik. Melihat kesuksesan petani ini, hampir semua petani beralih menjadi petambak. Tambak yang sering ditemui di Desa Cangkring diantaranya adalah tambak udang, di antaranya udang windu dan vannamai (disebut paname oleh warga Desa Cangkring) juga ikan bandeng.

            Namun, fenomena tambak ini tidak berjalan dengan mulus. Hal ini dikarenakan adanya kerentanan sistem tambak atau sustainibility yang tidak terjamin. Penghasilan dari tambak udang berkurang mulai sekitar tahun 2000. Dikatakan bahwa harga jual udang dari tahun 1998 hingga tahun 2000 mencapai harga jual yang tinggi. Namun, setelah tahun 2000, harga udang jatuh. Tahun 1999 harga udang turun hingga Rp 80.000,/kg, lalu tahun 2000 menjadi Rp 60.000,00/kg dan kini harga udang menjadi Rp 40.000/kg.

            Beralihnya lahan sawah menjadi lahan tambak meskipun ada penurunan harga udang, memberikan gambaran bahwa untuk tahun 1997 hingga sekarang diperlukan adanya berbagai macam cara pengolahan lahan tambak agar kembali produktif dan memberikan penghasilan yang menjanjikan. Tak hanya itu, kini kerentanan sistem tambak juga dihadapi oleh bermunculan banyaknya jenis penyakit untuk udang. Sebelum tahun 1997, belum ada penyakit yang menyerang udang. Pemakaian obat-obatan kimia atau pestisida yang memiliki spektrum atau daya bunuh yang kuat banyak digunakan petambak untuk membuat tambaknya menuai panen yang baik. Tentunya, pemakaian obat-obatan kimia tersebut memberikan dampak pada tambak yang menyebabkan petambak harus memutar otak untuk mencegah terjadinya gagal panen. Obat-obatan non kimia atau nabati pun kini menjadi incaran petambak untuk digunakan pada tambak mereka. Hal ini menggambarkan adanya perubahan dari beberapa petambak untuk penggunaan obat-obatan kimia menjadi penggunaan obat non-kimia dalam sistem tambak.

Berdasarkan pemaparan di atas terkait perubahan lahan sawah menjadi lahan tambak, kerentanan sistem tambak terkait pengaruh lingkungan seperti air dan tanah juga bermunculannya banyak penyakit yang menyerang ekosistem tambak, saya tertarik untuk mengkaji:
  1. Bagaimana respon penambak terhadap ketidaktangguhan ekosistem tambak terkait penggunaan pestisida?
  2. Mengapa terjadi perubahan dalam pemilihan pestisida bagi beberapa petambak?

Melalui tulisan ini, saya bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah respon penambak terhadap kerentanan atau ketidaktangguhan ekosistem tambak. Tentunya, pengetahuan petambak (indigenous knowledge) memainkan peran dalam memilih berbagai cara pengelolaan lahan tambak (rational choice). Mulai dari teknik penanaman dan pengelolaan tambak, penggunaaan obat-obatan, pemberian pakan, hingga salinitas air. Penulis juga ingin mengungkap apa saja penyebab beberapa petambak mengubah penggunaan obat-obatan kimia atau pestisida menjadi obat-obatan non-kimia dalam mengelola tambaknya.

Dalam melakukan penilitian ini, saya mengambil lima informan yang bermata pencaharian sebagai petambak juga pemilik tambak di sekitar Desa Cangkring. Informan pertama bernama Bapak Solihin yaitu petambak udang paname sekaligus orang yang menanam jenis udang paname pertama di Desa Cangkring. Informan kedua bernama Bapak Akronim yang mengolah tambak udang windu, paname dan bandeng di Blok Karangkaji dan Desa Cantigi Sawah. Informan ketiga yaitu Bapak Tirya yang memiliki tambak udang windu dan bandeng seluas 10 hektar di Desa Cangkring. Informan keempat yaitu Bapak Taufik yang merupakan pemilik tambak bandeng imlek dan rumput laut sekaligus calon legislatif DPRD Indramayu, Pak Taufik memiliki total lahan tambak seluas 25 hektar di Desa Cangkring. Informan kelima yaitu Bapak Wanuri atau dikenal dengan nama Bapak Lebe yang memiliki tambak udang paname dan windu secara bergantian juga sesekali menanam bandeng.

1.1. Pengelolaan Lahan Tambak

Mengenai pengelolaan lahan tambak, petambak di Desa Cangkring memiliki beberapa jenis tingkatan tanam udang, di antaranya adalah tanam udang alami, tradisional, semi intensif dan intensif. Tanam udang alami adalah sistem tanam udang yang tidak menggunakan bantuan apapun seperti tidak menggunakan pakan, hanya ditanam lalu dibiarkan. Tanam udang tradisional adalah tanam udang yang menggunakan bantuan pakan, pelet, atau pur. Tanam udang semi intensif adalah tanam udang yang menggunakan pur juga kincir sederhana, yaitu jumlah kincir hanya satu. Lalu, tanam udang intesif adalah tanam udang yang menggunakan kincir dengan jumlah lebih banyak, biasanya dua hingga empat kincir dalam satu tambak, juga menanam udang dengan populasi yang lebih banyak.

      Tahap pengelolaan tambak udang dan bandeng dimulai dari pembersihan tambak ketika selesai panen. Tambak dibersihkan dengan mengeluarkan air, tetapi tidak sampai asat atau habis airnya. Setelah itu, tambak diberikan pestisida atau obat-obatan untuk menghilangkan atau mematikan hama yang ada, hama-hama yang didapati di tambak diantaranya adalah ikan-ikan kecil, belut, hingga siput. Lalu air tambak tersebut didiami dalam jangka waktu yang berbeda sesuai dengan jenis pestisida atau obat-obatan yang digunakan. Setelah itu dimasukkan air kembali dengan ukuran salinitas air yang berbeda, jika udang windu salinitas yang baik adalah kisaran 10 hingga 30, jika udang paname salinitas yang baik kisaran 30-40. Lain halnya dengan bandeng, bandeng adalah ikan yang bisa hidup di air tawar maupun air asin. Setelah diisi air, benur atau bibit udang dan bandeng siap ditebar dengan jumlah yang ditentukan oleh petambak. Setelah itu dikelola dengan memberi pakan sesuai takaran dan siap dipanen, untuk udang panennya kisaran dua hingga empat bulan, sedangkan bandeng kisaran enam bulan hingga satu tahun.

Petambak di Desa Cangkring menggunakan pengetahuan lokal mereka juga pengalaman dalam mengelola tambak mereka agar menuai panen yang baik. Berbagai teknik atau pola penanaman benih udang maupun bandeng pun dilakukan oleh para petambak. Tergambarkan bagaimana kefektifan pengeloalaan sumber daya di Desa Cangkring mengenai keberlanjutan pengelolaan berasal dari pengetahuan lokal atau indigeneous knowledge, seperti bagaimana cara mengelola sumber daya tergantung pada tempat, geografis, hingga karakteristik ekonomi.

Petambak di Desa Cangkring melihat proses adaptasi dari sudut pandang lingkungan secara individu (dari masing-masing petambak) dan kelompok (sesama petambak) dalam melakukan serangkaian pilihan teknik alternatif dan pola strategis yang memiliki berbagai konsekuensi bagi sumber daya dan lingkungan. Prinsip perilaku manusia dalam konteks penggunaan dan pengelolaan sumber daya ini berakar pada psikologi manusia dan aspek ekonomi yang mencoba untuk memahami tindakan sehari-hari yang ditemui di tambak.

Pada akhirnya, dalam mengelola tambak, petambak dihadapkan pada suatu konsepsi yaitu rational choice yang merupakan salah satu aspek penting untuk menganalisis komponen-komponen perilaku dari penggunaan sumber daya. Pilihan tertentu dari tindakan atau tujuan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan atau proses sosial, dan bukan hanya karena kondisi sumber daya itu sendiri. Rational choice akan mengantarkan petambak untuk melakukan tindakan yang dianggap dapat menguntungkan dengan melakukan kegiatan memilih suatu teknik pengelolaan tambak dari berbagai jenis teknik pengelolaan yang ada. Petambak di Desa Cangkring tentunya menemukan banyak pilihan dan alternatif dalam mengelola tambak, namun melalui pengetahuan dan pengalaman masing-masing petambak, pilihan pun akan berbeda namun dengan mengedepankan suatu tujuan yaitu berupa keuntungan.

Di Desa Cangkring terdapat beberapa pemilihan pola atau teknik pengelolaan tambak masing-masing seperti sistem tanam campur dan sistem tebang gilir. Sistem tanam campur adalah menanam udang dan bandeng dalam satu tambak untuk menghemat lahan tambak. Contoh dari salah satu sistem pengelolaan tambak adalah pengelolaan tambak milik Pak Akronim yang didapatkan dari pengalamannya sendiri  yaitu dengan sistem tebang gilir. Tebang gilir diungkapkan oleh Pak Akronim sistemnya sama seperti pengelolaan sawah, jika tanam padi sudah selesai maka ditanamlah umbi-umbian. Jika di tambak, setelah udang selesai di panen, tambak langsung digunakan untuk bandeng dalam empang kecil. Pak Akronim menyebut kegiatan ini dengan istilah ”ngetim” atau menimbun bandeng kecil. Diakui juga oleh Pak Akronim, penimbunan bandeng ini walaupun keuntungannya kecil, namun ketika dilepas di tambak hanya akan membutuhkan waktu dua bulan dan sudah bisa dipanen. Tentunya, teknik ini menggambarkan bahwa adanya kejelian dalam melihat peluang dalam penanaman udang dan bandeng yang akan mengantarkan pada pendapatan yang menguntungkan. Dari pemaparan diatas, tergambarkan bahwa Pak Akronim melakukan pilihan yang dianggap menguntungkan berikut dengan konsekuensinya.

Gambar 1.1. Pak Akromin sedang memberi pakan di tambak udang

      Salinitas air pun sangat berpengaruh dalam ekosistem tambak, air yang digunakan untuk kehidupan tambak udang  mempunyai takaran seperti yang telah disebutkan di atas, 10-30 untuk udang windu dan 30-40 untuk udang pana,e. Pak Tirya memiliki suatu alat untuk mengetes kadar air agar tambak udang dan bandengnya memiliki salinitas air yang baik. Alat yang dimiliki olehnya bernama pH Test Kit, suatu alat buatan Taiwan yang diperkenalkan oleh Insinyur Budi Santoso saat berkunjung ke Desa Cangkring dalam penyuluhan mengenai tambak. Cara mengetahui kadar air adalah dengan meneteskan air pada tambak lalu diukur pHnya. Jika udang paname, kadar pH yang baik adalah kisaran 30. Sedangkan untuk udang windu adalah 10. Lalu, kadar air yang dites tersebut juga harus dilihat warnanya. Untuk bandeng, warna yang baik adalah warna hijau, sedangkan untuk udang warna yang baik adalah hijau daun atau biru laut.

 Gambar 1.2 Alat pengukur kadar air untuk tambak udang dan bandeng, pH Test Kit


Gambar 1.3 dan 1.4 Pengukur warna air untuk tambak bandeng (atas) dan udang (bawah)

      Pengelolaan tambak juga dipengaruhi oleh pakan dari udang dan bandeng. Pak Taufik melihat adanya kerentanan kehidupan ekosistem tambak bandengnya terkait pakan yang diberikan. Bandeng memiliki masa mogok makan di mana akan mempengaruhi keberlanjutan tambak bandeng. Jika terlalu banyak pakan yang diberikan, bandeng akan mogok makan. Pada dasarnya, sistem pemberian pakan pada tambak Pak Taufik selalu ditingkatkan satu karung pada tiap bulannya demi pertumbuhan bandeng yang baik. Namun, tak jarang justru peningkatan pakan ini membuahkan aksi mogok makan. Contohnya adalah ketika bandeng di tambak Pak Taufik menginjak usia enam bulan, seharusnya pakan yang diberikan sebanyak enam karung, namun justru berkurang menjadi empat karung.

      Kesuburan tanah dan air juga memainkan peranan penting dalam keberlangsungan sistem tambak. Pak Solihin mengungkapkan bahwa untuk ekosistem tambak bandeng, kesuburan tanah sangat berpengaruh dikarenakan pakan untuk bandeng tumbuh dari tanah. Contoh pakannya adalah klekap, yaitu sejenis lumut yang bertekstur halus dan melekat di tanah. Jika kesuburan tanah dalam tambak bandeng kurang, klekap tidak akan tumbuh. Jika tanah dalam tambak bandeng tersebut subur, tentunya ketersediaan makanan akan terjamin. Kini banyak tambak bandeng yang dibantu oleh pakan seperti pakan pur untuk keberlanjutan pertumbuhan bandeng.

      Rentannya kehidupan tambak di Desa Cangkring juga tergambarkan dari pemaparan Pak Solihin mengenai bagaimana ia mengelola tambaknya. Menurutnya, mengelola tambak adalah salah satu kegiatan yang susah. Tahun 1997, Pak Solihin pernah melakukan pengaplikasian pengolahan tambak dari tahun ke tahun demi mendapatkan hasil yang baik. Ia mengatakan jika teknik mengelola sawah dari musim ke musim bisa diaplikasikan dan menuai hasil yang sama. Lain halnya dengan tambak, kelangsungan hidup tambak dengan pengaplikasian yang sama selalu menuai hasil yang berbeda, entah dicoba dengan jumlah udang yang ditanam, kadar air, hingga penanaman pada musim yang sama, hasilnya selalu berbeda.

Rhoades dan Bebbington (1995) dalam Seeds of Knowledge menegaskan bahwa petani menciptakan solusi mereka sendiri, bukan hanya menjadi pengadopsi teknologi yang telah diperkenalkan. Petani adalah peneliti dan inovator yang aktif dalam memproses, menilai, dan menggabungkan informasi untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan kondisi yang ada. Dalam kasus Pak Solihin mengamati kehidupan tambaknya mulai dari penanaman hingga panen dan bentuk uji coba pengaplikasian yang sama dari masa tanam ke masa tanam lainnya menggambarkan pernyataan dari Rhoades dan Bebbington. Pak Solihin menggabungkan informasi yang ada dari tiap masa tanam untuk memenuhi kebutuhannya.


1.2. Munculnya Berbagai Macam Penyakit Dalam Ekosistem Tambak

Dalam ekosistem tambak, petani harus menghadapi kerentanan atau ketidaktangguhan sistem tambak mereka yang disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi kerentanan sistem tambak terkait dengan keberlangsungan (sustainibility) adalah bermunculannya berbagai penyakit yang menyerang ekosistem tambak, terutama tambak udang. Tambak pada tahun 1995 hingga 1996 menjanjikan penghasilan yang baik. Namun, pada tahun 1997 hingga sekarang, sistem tambak diserang oleh bermunculannya beberapa jenis penyakit yang menyerang udang. Hal ini menyebabkan petambak harus waspada terhadap keberlangsungan tambak mereka.

            Penyakit yang umumnya menyerang udang di Desa Cangkring terbagi menjadi empat penyakit, diantaranya adalah MBV, white spot, penyakit kunang, dan stroke. Penyakit yang dinamakan MBV merupakan singkatan dari Monodon Baculovirus, yaitu penyakit yang menyerang udang windu yang menyebabkan udang menjadi berwarna merah kecoklatan. Lalu, penyakit white spot merupakan jenis penyakit yang menyebabkan tubuh udang berbintik-bintik putih. Penyakit kunang merupakan penyakit yang menyerang udang windu di mana ketika malam tiba, udang ini akan menyala seperti kunang-kunang. Terakhir, penyakit stroke yaitu penyakit yang menyerang separuh tubuh udang mati, yaitu dari tengah ke ekor.

Diakui oleh Pak Solihin, penyakit  yang menyerang udang ini belum diketahui penyebab pastinya. Menurutnya, bisa saja penyakit tersebut datang dari limbah seperti limbah Pertamina dan juga pemakaian pestisida yang berlebihan. Namun, penyakit-penyakit tersebut tidak membahayakan ketika dikonsumsi. Hanya saja, penyakit ini berpengaruh pada penghasilan petambak. Untuk penyakit kunang-kunang dan stroke masih bisa dijual, namun harganya menjadi jatuh. Sedangkan, udang yang terkena penyakit MBV dan white spot tidak laku untuk dijual, maka dari itu petambak mengonsumsinya sendiri.

Udang pun memiliki masa stress, hal ini dipaparkan oleh Pak Solihin yang bisa saja menjadi salah satu faktor udang terkena penyakit. Stress yang dialami oleh udang biasanya terjadi karena pengaruh lingkungan seperti adanya perubahan lingkungan. Contohnya adalah ketika dalam suatu tambak terdapat banyak udang dan tidak adanya angin pada malam hari, kondisi ini menyebabkan udang akan mengalami stress. Hal ini dikarenakan oksigen tidak bisa masuk dalam air dan volume oksigen pada air berkurang yang menyebabkan udang naik ke permukaan air untuk mencari udara. Jika tidak direspon dengan cepat akan menyebabkan udang mati. Maka dari itu, banyak petambak yang memberikan kincir di tambak untuk mengantisipasi kestabilan oksigen dalam air.
  
1.3. Penggunaan Obat-Obatan Kimia Atau Pestisida Dan Efek Samping

Dalam pengelolaan lahan tambak, tentunya semua petambak menginginkan kehidupan tambaknya berjalan dengan lancar yaitu dengan tidak terserang penyakit dan hama, menuai panen yang sukses, dan meraup keuntungan yang banyak. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa kehidupan tambak juga memiliki kerentanan dari beberapa faktor seperti salinitas air, kesuburan tanah, dan terutama adalah penyakit atau hama yang menyerang ekosistem tambak. Untuk menghindari kejadian yang akan menyebabkan gagal panen, para petambak melakukan berbagai macam pencegahan seperti yang telah dibahas di sub-bab sebelumnya. Namun, penggunaan obat-obatan kimia atau sering disebut dengan pestisia juga menjadi pilihan yang digunakan oleh banyak petambak Desa Cangkring. Tak jarang obat-obatan kimia atau pestisida yang digunakan oleh petambak memiliki spektrum atau daya bunuh yang luar biasa.

Telah dipaparkan mengenai rational choice di atas, penggunaan pestisida atau obat-obatan kimia merupakan salah satu pilihan yang diambil oleh para petambak di Desa Cangkring untuk menghasilkan keuntungan dengan segala konsekuensi yang ada. Faktor ekonomi merupakan salah satu permasalahan dari ekologi mengenai pengaruh pilihan dari strategi pengelolaan sumber daya.

Penggunaan pestisida biasanya dilakukan ketika tambak dikeringkan dengan kondisi masih ada sedikit air di tambak. Hal ini dilakukan karena di tambak terdapat ikan-ikan yang bisa menjadi hama bagi udang. Maka dari itu, ikan harus dibunuh dengan menggunakan pestisida. Pestisida yang sering ditemui di Desa Cangkring diantaranya bernama Teodan, Akodan, dan Indodan.

Seperti pengalaman Pak Solihin dalam mengelola tambak udangnya, Pak Solihin mengakui menggunakan beberapa jenis pestisida yang bernama Teodan dengan pemakaian terakhir pada tahun 2011. Akodan didapatkan oleh Pak Solihin di toko dengan harga Rp 20.000,00/botol. Padahal, Teodan adalah salah satu pestisida yang dilarang dari Inpres karena berspektrum luas yaitu daya bunuhnya atau resistensinya di lahan berjangka waktu lama dan bisa membunuh bibit-bibit baru. Dipaparkan oleh Pak Solihin, Teodan masih dijual bebas pada tahun 2011 dengan harga yang cukup tinggi, yaitu Rp 400.000,00/100ml.

Pak Akronim juga mengakui bahwa dirinya menggunakan Teodan untuk mengusir hama di tambak udangnya saat dikeringkan. Tak hanya Teodan, Pak Akromin juga menggubakan Akodan. Akodan digunakan untuk mematikan hama yang ada pada tambaknya seperti ikan mujair, ikan lundu, hingga belut. Pestisida yang dikemas dalam kaleng dan berbentuk cair juga berwarna putih ini diakui Pak Akronim memiliki efek samping pada kehidupan tambak. Penggunaan  pestisida Akodan memakan waktu yang lama untuk pengeringannya yaitu setelah pestisida digunakan, lahan tambak harus didiami selama satu minggu kemudian airnya dibuang dan diisi air baru kembali, setelah itu baru bisa menanam kembali. Hal ini dikarenakan kandungan pestisida Akodan bisa membunuh udang dan bandeng, maka dari itu diperlukan waktu satu minggu untuk menghilangkan racun yang menempel pada lahan tambak.

Pak Akronim juga pernah menggunakan pestisida bernama Bentan untuk membunuh siput. Siput adalah salah satu hama bagi tambak udang dan bandeng. Siput dinilai menganggu pertumbuhan udang dan bandeng karena siput turut memakan pelet untuk udang dan bandeng. Selain itu, siput hidup di lumpur yang menyebabkan air tambak menjadi keruh. Keberadaan siput membuat pertumbuhan udang dan bandeng menjadi rusak karena tidak akan tumbuh besar. Penggunaan Bentan pada satu hektar lahan tambak diperlukan sekitar setengah kilogram. Efek samping dari Bentan sama seperti Akodan, namun memerlukan waktu yang lebih lama yaitu sekitar setengah bulan untuk didiamkan agar racun yang menempel hilang, jika perhitungan waktu tidak tepat akan mematikan udang dan bandeng.

Telah dijelaskan sebelumnya pada sub-bab sebelumnya, beberapa petambak di Desa Cangkring menggunakan sistem tanam campur yaitu antara udang dan bandeng dalam satu tambak. Kehidupan tambak udang di Desa Cangkring kebanyakan memakan waktu dua bulan lalu panen, sedangkan bandeng dari enam bulan hingga satu tahun. Dalam sistem tanam campur, tentunya waktu panen yang berbeda ini menghasilkan pengelolaan yang berbeda juga ketika panen. Beberapa petambak Desa Cangkring menggunakan obat kimia bernama Ripcord untuk melakukan panen udang. Ripcord ditaburkan di lahan tambak yang kemudian akan mematikan udang, namun tidak mematikan bandeng yang ada di tambak tersebut juga.

Gambar 1.5 Ripcord, obat kimia untuk membunuh udang saat panen dalam sistem tanam campur dengan bandeng

Pak Lebe adalah salah satu petambak yang mengaplikasikan sistem tanam campur udang windu dan bandeng. Saat ia ingin memanen udang windu, lahan dihisap namun jangan terlalu asat, lalu ditaburkan Ripcord di sekelilingnya. Beberapa saat, udang akan mati akibat terkena Ripcord, namun bandeng yang ada tidak akan mati karena Ripcord hanya mematikan binatang berdarah putih. Dikatakan bahwa jika tidak memakai Ripcord, panen udang bisa saja tidak tuntas karena ada yang terlewat. Pemakaian Ripcord pada lahan tambak juga dilakukan oleh Pak Akronim yang turut mengaplikasikan sistem tanam campur.

Berbeda lagi dengan lahan tambak milik Pak Taufik, tambak bandeng Imlek miliknya lebih dekat dengan laut dibandingkan lahan tambak informan penulis lainnya. Tambak milik Pak Taufik lebih rentan terkena hama berupa ikan-ikan kecil karena letaknya dekat dengan pintu air dan sirkulasi air berasal dari air laut, hal ini menyebabkan ikan-ikan kecil yang masuk ke tambak milik Pak Taufik lebih banyak. Untuk mencegah tambaknya dari hama, ia menggunakan beberapa obat-obatan seperti Supersit dan Ripcord. Supersit digunakan agar ikan mujaer mati sehingga tidak menganggu pertumbuhan bandeng Imlek. Selain itu, Pak Taufik menggunakan pestisida bernama Darmasan yang berguna untuk membunuh hama berupa ikan-ikan kecil. Diakuinya, ikan-ikan kecil ini akan membuat air tambak menjadi keruh.

Dalam argumen rational choice, akar masalah dapat ditemukan dalam pilihan yang dibuat oleh individu dalam proses memuaskan keinginannya. Beanett dalam  Human Ecology as Human Behavior mengamati dari sudut pandang individu, bahwa kegiatan memilih ini adalah dasar dari teori ekonomi modern. Kemungkinan bahwa kepuasan tersebut dapat mengakibatkan kekurangan atau hilangnya kapasitas sumber daya. Selain masalah hilangnya kapasitas sumber daya, kerusakan lingkungan juga bisa terjadi dari sistem pengelolaan tambak dengan menggunakan pestisida atau obat-obatan kimia.


1.4. Perubahan Penggunaan Obat Kimia Menjadi Obat Non-Kimia

Perubahan penggunaan obat kimia dalam pengelolaan lahan tambak di Desa Cangkring ditemui dalam lahan tambak informan penelitian ini. Telah dipaparkan diatas bahwa rata-rata para petambak menggunakan obat-obatan kimia atau pestisida untuk mengusir hama seperti ikan-ikan kecil, belut, hingga siput. Hampir semua pestisida yang digunakan tentunya mempunyai efek samping seperti spektrum atau daya bunuhnya yang luar biasa, di mana dibutuhkan waktu yang lama untuk mendiami atau mengeringkan lahan tambak guna racunnya hilang atau tidak menempel lagi di tambak.

Kini, rata-rata para petambak di Desa Cangkring beralih menggunakan obat non-kimia untuk pengelolaan lahan tambak, yaitu dengan memakai Samponi. Samponi merupakan obat non kimia yang digunakan untuk pengelolaan tambak untuk mengusir hama yaitu ikan-ikan kecil. Diakui oleh Pak Solihin, Samponi merupakan bibit teh yang penjualannya diletakan di dalam karung dengan tidak ada pencantuman keterangan komposisinya. Samponi berbentuk bubuk, tetapi banyak butiran kasar dan penggunanaanya melalui cara disebar di tambak. Samponi juga memiliki manfaat lain terutama untuk tambak udang, Samponi dapat menjadi vitamin untuk udang sekaligus mempercepat pergantian kulit udang.

Gambar 1.6. Samponi, obat pengusir hama yang berasal dari bibit teh sekaligus vitamin bagi udang

Pak Solihin adalah salah satu petambak yang mengubah pemakaian obat-obatan kimia untuk tambak menjadi obat-obatan non kimia. Sejak tahun 2011, Pak Solihin yang sebelumnya memakai Teodan untuk pengusir hama di tambaknya, kini beralih menggunakan Samponi. Perubahan ini diakui oleh Pak Solihin saat dahulu memakai Teodan, udang yang ada di tambaknya terkadang mati. Mengenai kerentanan ekosistem tambak udangnya, ia juga memaparkan bahwa semenjak tidak menggunakan Teodan, penyakit yang menyerang udangnya justru jarang muncul. Dari pemaparan tersebut, tergambarkan bahwa penggunaan pestisida justru bisa membuat udang terkena penyakit. Namun, di satu sisi Pak Solihin berkata penghasilannya terkadang tidak menentu, bisa lebih banyak dari yang menggunakan pestisida, bisa juga lebih sedikit.

Tahun 2012, Pak Solihin mulai mengamati dan mencatat hal-hal yang terjadi pada tambak udangnya. Pak Solihin mengalami hanya satu kali gagal panen  udang paname pada tahun 2012, dengan total enam kali panen semenjak tidak menggunakan Teodan. Rata-rata keberhasilan panen pak Solihin mencapai angka 20.000 udang paname, sedangkan saat gagal panen mencapai angka 16.000 udang paname. Dikatakan kegagalan panen ini dikarenakan penyakit, Pak Solihin tidak memberikan pencegahan seperti penggunaan obat-obatan karena paname belum diketahui penyakitnya. Penyakit udang seperti MBV, white spot, stroke, dan kunang-kunang adalah penyakit yang menyerang udang windu. Paname adalah jenis udang yang termasuk baru di Desa Cangkring. Tahun 2000, Pak Solihin adalah petambak pertama di Desa Cangkring yang menanam udang paname. Bibit udang ini pertama kali di dapat dari PT. Bratasena, Lampung, Sumatra Selatan dan harganya Rp 36,00/ekor saat itu. Pak Solihin juga mengaku saat ia dahulu membuka tambak bandeng, sekitar tahun 1983 ia menggunakan pestisida, namun semenjak tahun 1990 pemakaian dihentikan. Dengan tidak menggunakan pestisida, Pak Solihin berkata bahwa bandengnya jarang terkena penyakit.

Sama halnya dengan Pak Akronim yang sering melakukan sistem tanam campur pada tambaknya yaitu udang windu dan bandeng. Pada tahun 2010, Pak Akronim sering menggunakan Ripcord untuk membunuh udang saat masa panen udang. Namun, di tahun 2011 Pak Akronim sudah mulai tidak mengggunakan Ripcord karena pengalamannya terdahulu ketika kadar air sedang terlalu asin dan diberikan Ripcord, bandeng dalam tambak bisa mati. Kini, Pak Akronim hanya menggunakan Samponi untuk mencegah bandeng dalam tambaknya mati. Selain itu, perubahan ini dilakukan karena menggunakan Samponi hanya butuh satu hari untuk menghilangkan racun di tambak, berbeda dengan Akodan yang membutuhkan waktu satu minggu untuk menghilangkan racun.

Pak Taufik juga melakukan perubahan penggunaan obat-obatan untuk tambaknya, kini ia hanya menggunakan Samponi untuk mengusir hama berupa ikan-ikan kecil. Selain itu, diakuinya bahwa rumput laut yang ada di tambaknya juga membantu pertumbuhan ikan bandeng. Hal ini dikarenakan rumput laut mencegah kotoran, biasanya bandeng mencari makan dengan menyusupi lumpur dan membuat air tambak menjadi keruh. Pak Taufik mengungkapkan bahwa penggunaan pestisida bisa membahayakan tambaknya karena mengandung bahan kimia. Memang pastinya sekarang belum dirasakan apa kerugiannya, namun untuk kedepannya pasti terdapat hal-hal yang mengubah ekosistem tambak, jadi mulai kini Pak Taufik sudah tidak memakai pestisida berbahan kimia untuk menghindari rusaknya ekosistem tambak di masa depan.

Gambar 1.7. Tambak Pak Taufik, tambak bandeng dan tambak rumput laut

Begitupula dengan Pak Lebe, kini ia hanya menggunakan Samponi ditambah dengan Ursal, yaitu penambah nafsu makan yang berbentuk cair. Pak Lebe mengatakan bahwa pemakaian pestisida seperti Ripcord berbahaya karena mengandung zat kimia. Untuk membunuh hama, setelah panen Pak Lebe menyebarkan Samponi pada tambaknya dan baru memasukan benur (bibit ikan) saat ikan kecil sudah mati. Penggunaan Samponi pada lahan tambak udangnya juga dilakukan setiap satu setengah bulan.

            Kesadaran mengenai kefektifan pengelolaan sumber daya di Desa Cangkring yaitu terkait keberlanjutan pengelolaan juga menjaga lingkungan dan integritas ekosistem tambak didapatkan dari pengetahuan dan pengalaman para petambak. Pengalaman petambak menggunakan berbagai macam obat-obatan kimia atau pestisida memberikan pengetahuan dalam hal pengelolaan tambak. Petambak memerhatikan bagaimana perubahan demi perubahan terjadi dalam hal penggunaan obat-obatan kimia yaitu dampak bagi keberlangsungan tambak udang dan bandeng mereka.

Hal ini menunjukan adanya dynamic nature of knowledges formation dalam Seeds of Knowledge yang menghasilkan pengetahuan dan penjelasan bagaimana variabelnya dan bagaiamana keanekaragaman menjadi acuan untuk berubah. Lalu, proses dari knowledges formation ini dibutuhkan untuk menggabungkan variasi dan memberi tingkatan dari peristiwa, tindakan, pengalaman, dan untuk menunjukan bagaimana perubahan yang terjadi. Hal yang menjadi fokus dari proses ini adalah: 1) bagaimana pengetahuan menjadi pedoman dalam bertindak, 2) bagaimana peristiwa, tindakan, dan interaksi berada diantara pengetahuan petambak dan pengaruh dari perilaku dalam pengelolaan sumber daya, 3) bagaimana perubahan terjadi pada level tertentu.

Dengan adanya perubahan penggunaan pestisida dan obat-obatan kimia, tergambarkan juga adanya upaya terkait keberlanjutan ekosistem tambak yang baik (sustainibility). David Henley dalam Natural Resource Management: Historical Lessons from Indonesia mengungkapkan bahwa terdapat suatu konsepsi tragedy mengenai perubahan pengelolaan ekosistem, dalam konteks ini adalah perubahan penggunaan pestisida menjadi ke obat-obatan non-kimia. Beberapa alasan yang diungkapkan petambak mengenai alasan peralihan penggunaan pestisida ini dikatakan bahwa pestisida bisa merusak ekosistem untuk keberlanjutan hidupnya.

Hal ini menunjukan adanya penghindaran terhadap tragedy of indifference yaitu mengetahui apa akibat akan penyalahgunaan obat-obatan kimia terhadap tambak, tetapi belum mengalaminya. Seperti yang dikatakan Pak Taufik di atas, ia memang belum merasakan kerugiannya saat ini, namun untuk kedepannya ia berpikir akan terdapat hal-hal yang mengubah ekosistem tambak jika memakai pestisda, jadi mulai kini Pak Taufik sudah tidak memakai pestisida berbahan kimia untuk menghindari rusaknya ekosistem tambak di masa depan.

1.5. Kesimpulan

Melalui penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan petambak (indigenous knowledge) sangat memainkan peranan penting dalam hal pengelolaan tambak, bagaimana pengetahuan masyarakat asli tentang lingkungan ikut serta dalam pengelolaan ekosistem tambak. Hal ini didasarkan karena setiap masyarakat punya pandangan tersendiri atau pengetahuan terhadap lingkungannya atau disebut self consciousness. Pengalaman dalam mengelola tambak udang dan bandeng dari tahun ke tahun dengan segala perubahan membuat petambak merumuskan beberapa teknik atau pola pengelolaan tambak yang tersedia dan memilih suatu teknik pengelolaan tambak dengan tujuan ekonomi, yaitu menghasilkan keuntungan.

Adanya dinamika pengetahuan dari petambak sendiri, juga sesama petambak lainnya, bahkan dari penyuluhan yang diberikan ahli atau insinyur dirumuskan hingga menemukan suatu teknik pengelolaan tambak yang dianggap menguntungkan. Dinamika pengetahuan ini kemudian mengantarkan petambak dalam melakukan tindakan yang dianggapdapat memberikan keuntungan (rational choice), seperti pemilihan teknik penanaman tradisional, semi intensif, maupun intensif juga sistem tanam campur dan tebang gilir dengan dirumuskan keuntungan dan berbagai konsekuensinya.

Perubahan pengelolaan tambak dari penggunaan obat-obatan kimia atau pestisida menjadi obat-obatan non-kimia pun diaplikasikan karena adanya dynamic nature of knowledges formation. Konsep ini menghasilkan pengetahuan dan penjelasan mengenai konsekuensi atau efek samping penggunaan pestisida bagi keberlanjutan sistem tambak mereka (sustainibility) menjadi acuan untuk melakukan perubahan, seperti membuat udang atau bandeng para petambak mati karena terkena sisa racun saat mengusir hama.

Melalui pengetahuan dan pengalaman, petambak menciptakan solusi dengan hanya tidak mengadopsi beberapa pilihan pencegahan yang tersedia, namun juga dengan meneliti, menilai, dan menggabungkan informasi untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan kondisi ekosistem tambak mereka pada masa kini, seperti apa yang dikatakan oleh Rhoades dan Bebbington (1995). Tentunya perubahan penggunaan obat-obatan untuk tambak ini bertujuan untuk keberlanjutan ekosistem tambak yang lebih baik di masa depan.



 Referensi:

Bennett, J.W,
            1980. Human Ecology As Human Behavior. New York: Plenum Press.
 Dove, M.R. & Carpenter
            2008. Environmental Anthropology: A Historical Reader. Malden, Oxford, Carlton: Blackwell Publishing.
Dove, Michael R.
            2006. Indigenous People and Environmental Politics. New Haven: Yale University.
 Henley, David
            2008. Natural Resource Management: Historical Lessons from Indonesia. Netherland: Springer.
 Winarto, Y.T.
            2004. Seeds of Knowledge: The Beginning of Intergrated Pest Management In Java. New Haven: Yale Southeast Asia Studies Monograph.