Wacana seksualitas
tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan dan pengetahuan, menurut Foucault ketiganya
memiliki keterkaitan. Wacana tentang seksualitas mengalami tiga periode sejarah
diantaranya (1) seks sebagai ars erotica,
terkait adanya kontrol kekuasaan yang bekerja dengan tidak adanya konsentrasi
pada satu kekuataan, tetapi pada masing-masing individu. Hal tersebut
mengartikan bahwa masing-masing individu diberi kebebasan untuk memaknai seks,
(2) peroide kedua kemudian dipengaruhi oleh masuknya faktor agama yaitu
otoritas gereja. Kekuatan agama kemudian merebut pakem-pakem yang ada pada
kehidupan seksual masyarakat. Seks dimaknai sebagai sesuatu yang tabu dan juga
adanya batasan-batasan mengenai wacana seks terhadap apa yang tidak sesuai
dengan kitab Injil, dan (3) periode terakhir adalah wacana seks tetap
menyelimuti pembicaraan masyarakat karena adanya rasa ingin tahu atas kehidupan
seksual yang meningkat akibat adanya pengekangan. Lahirlah ilmu yang
mempelajari seksualitas, yakni scientia
sexualis.
Tulisan ini akan memaparkan bagaimana seksualitas
dibelenggu oleh aturan-aturan yang berasal dari negara maupun agama dan
mengantarkan pada problematika dan dilematis pengaturan terhadap wacana
seksualitas itu sendiri. Sebelum memasuki fokus utama tulisan ini yaitu
mengenai problematika pengaturan udang-undang mengenai seksualitas di
Indonesia, ada baiknya untuk menelusuri sejarah pengaturan seksualitas itu sendiri,
bagaimana kekuasaan dan pengetahuan bermain dalam ranah seksualitas. Dalam pembahasan mengenai seksualitas dan kekuasaan,
Foucoult memberikan kritik terhadap Freud pada konsep psikoanalisis bahwa
terdapat fenomena histeria yaitu fenomena kelupaan yang besar, kelupaan akan
diri sendiri merujuk pada fenomena hasrat seksualitas. Kedua, adanya pengetahuan
yang berkelebihan, yaitu pengetahuan tentang seksualitas yang ekstensif dan
intensif. Dua kritik ini kemudian mengantarkan kita pada fenomena bagaimana
seksualitas kemudian dibelenggu dalam kekuasaan.
Menelusuri fenomena seksualitas di Barat, pada dasarnya
masyarakat Barat tidak memiliki pengetahuan tentang seni yang erotis,
masyarakat Timur justru lebih bebas dalam pengetahuannya mengenai seks. Lalu, pada
gerakan zaman Romawi dan Yunani Kuno, seksualitas bersifat bebas, terjadi
percampuran antaa agama dan seksualitas. Pada akhirnya, Kristen membelenggu
isu-isu seksualitas menjadi tiga ciri yaitu (1) agama Kristen menetapkan
monogami, (2) menyatakan reproduksi adalah fungsi utama ekslusif, yaitu hanya
membuat anak, bukanlah masalah kenikmatan, dan (3) kenikmatan seksual adalah
kejahatan. Paul Vein kemudian menambahkan bahwa tiga ciri tersebut sudah ada di
Barat jauh sebelum agama Kristen masuk. Hal inilah yang kemudian dapat disimpulkan
sebagai alasan mengapa masyarakat Barat tidak memiliki pengetahuan tentang seni
yang erotis, yaitu karena adanya aturan-aturan yang membelenggu isu seksualitas
itu sendiri.
Agama Kristen menetapkan mekanisme kekuasaan dengan menanamkan nilai dan moral yang baru,
diantaranya adalah (1) kepastoran sebagai sebuah kekuasaan, bukanlah kekuasaan
dalam arti menguasai suatu wilayah, tetapi membuat kepatuhan pada masyarakat
dan penyejahteraan umatnya, (2) kepastoran berperan dalam masyarakat Kristen
sebagai pastor dan penggembala, dan (3) adanya kekuasaan yang khas dari
kepastoran. Penanaman nilai dan moral tersebut diatasnamakan kekuasaan pastor
karena terkait dengan keselamatan. Hal ini dikarenakan pastor dianggap sebagai
pihak yang dapat menuntut dari pihak lain pada sebuah keputusan yang absolut. Pastor
memiliki wewenang untuk umatnya ke jalan yang benar merujuk pada firman Tuhan.
Lalu, kepastoran juga membawa keseluruhan rangkaian teknik dan prosedur yang
terkait dengan kebenaran dan produksi kebenaran.
Kekuasaan atas seksualitas menurut
Foucoult tampil di atas segalanya sebagai kekuatan yang mengekang, seperti
mengekang kesenangan. Seksualitas terus menerus diungkap dan diteliti yang
kemudian melahirkan jalinan pola beragam dari seksualitas dan kekuasaan.
Contohnya adalah fenomena agama Katolik dan pengakuan (confession) yang mana seksualitas disubsidi oleh sumber-sumber
kekuasaan yang beragam dan berpengaruh terhadap berbagai tindakan. Dalam confession terdapat pastor sebagai wakil
Tuhan. Umat berkunjung pada pastor untuk menjelaskan dosa-dosanya, maka dapat
dikatakan bahwa confession menjadi
perantara dosa, tak jarang dosa yang diungkapkan berkaitan dengan masalah
seksualitas seperti berhubungan seks sebelum menikah. Terjadilah penciptaan
seksualitas yang mempengaruhi perkembangan politik anatomi tubuh seperti
hubungan seks dalam pernikahan merupakan tanggung jawab dan pengaturan diri.
Dari penjabaran diatas, terlihat bahwa agama Kristen
menancapkan kekuasaan antara masyarakat sipil dan asketisme yaitu terdapat
ajaran rohani yang mengendalikan tubuh dan jiwa. Aturan-aturan tersebut
merupakan pembentukan sebuah subjektivitas dari agama Kristen terhadap
seksualitas. Jadi, agama Kristen berusaha membentuk sudut pandang tentang seksualitas
lewat kekuasaan dan kontrol yang dilakukan. Sejarah seksualitas dalam
masyarakat Barat kemudian menjelaskan bagaimana hubungan seks dan kekuasaan
melewati peran agama yaitu agama Kristen.
Konsep seksualitas lama kelamaan dipenuhi
oleh wacana Kristen yang menggambarkan bahwa terjadinya perubahan institusional
dalam seksualitas. Seksualitas merupakan sebuah konstruksi sosial yang
beroperasi dalam wilayah kekuasaan. Perempuan tidak mengerti tentang
seksualitas karena pengetahuan tentang seksualitas hanya membicarakan
seksualitas pada laki-laki. Pada era Victorian, hanya sedikit jurnal kesehatan
dan publikasi semi resmi lainnya yang dapat diperoleh. Adanya penyensoran dan
tidak tersedianya tulisan kesehatan mengenai perempuan membuat perempuan
akhirnya tidak memiliki pengetahuan seks yang cukup dan ia menjaga situasi
tersebut untuk menyikapi keinginan-keinginan laki-laki. Amber Hollibaugh
kemudian menyuarakan kaum perempuan yang ingin mengungkapkan hasrat-hasrat yang
masih belum diartikulasikan.
Bagaimana
kemudian negara melangsungkan kekuasaannya terhadap seksualitas bisa dilihat
dari beberapa fenomena. Salah satunya adalah perubahan ikatan pernikahan. Pembentukan
ikatan pernikahan pada sebagian besar penduduk menjadi dasar pertimbangan lain
dari keputusan nilai ekonomis. Lalu, berkembang konsep mengenai cinta romantis
yang ideal, inilah pertama kalinya perempuan dan seksualitas mempunyai arti
lain daripada sekedar siklus kehamilan karena tidak hanya berbicara mengenai nilai
ekonomi, tetapi ada sisi afeksi. Fenomena lainnya adalah penyusutan jumlah
anggota keluarga yang didorong oleh alat kontrasepsi. Politik anatomi tubuh
lainnya bisa dilihat dari kemunculan program keluarga berencana, praktik sunat,
obat-obatan penambah nafsu, dan penambah stamina.
Tentunya refleksivitas institusional dan seksual
ini tidak terjadi atau muncul begitu saja, adanya kuasa pengetahuan yang masuk
ke dalam organisasi sosial salah satu penyebabnya. Saat berbicara mengenai
kekuasaan, kita tidak bisa lepas dari pengetahuan karena pengetahuan lah yang
dikembangkan untuk mengontrol tubuh (politik manajemen tubuh). Pengetahuan
menyebabkan adanya kontrol dari negara seperti regulasi tentang perzinahan.
Politik
anatomi tubuh juga merambah pada kekuasaan yang mengatur hal-hal bersifat biologis
atau dikenal sebagai biopower. Dalam biopower ini, kekuasaan dan pengetahuan
selalu berjalan beriringan dan mempengaruhi satu sama lain dalam konteks
masyarakat modern. Bagaimana dengan pengetahuan, manusia dapat mengembangkan
mekanisme pengaturan kehidupan biologis.
Dikarenakan kekuasaan berasal dari
wacana-wacana, maka kekuasaan tidak memiliki sumber tunggal, tetapi justru
heterogen dan pluralistik yaitu datang dari mana saja dan berada di mana saja.
Kekuasaan bukanlah sesuatu yang diperoleh, dirampas, atau dibagi, yang
digenggam atau dilepaskan. Kekuasaan terwujud dari berbagai arah yang tidak
terhitung jumlahnya. Maka dari itu lahirlah kutipan ”power produces knowledge, power and
knowledge directly imply one another.”
Mengenai
wacana wacana ilmiah tentang seksualitas (scientia
sexualis) di Barat, mereka tidak memiliki seni erotik, tidak belajar
bagaimana bercinta, bagaimana memberi kenikmatan pada orang lain atau pun
mengabdikan dirinya untuk kenikmatan. Satu-satunya wacana seni erotik di Barat
bersifat tertutup dan sepenuhnya pribadi, yaitu (1) orang berupaya untuk
memiliki ilmu pengetahuan seksual, bukan tentang kenikmatannya, (2) sejak abad
pertengahan sampai dengan abad 19, masyarakat Eropa dicegah untuk
menginterogasikan seksualitas karena kuatnya moral borjuis dan moral Kristen,
(3) salah satu cara utama memproduksi kebenaran adalah ritual confession (pengakuan dosa) dalam agama
Kristen. Confession adalah alat
analisis, refleksi dan deteksi dari apa yang terjadi dalam hidup setiap orang
sebagai individu, (4) confession
berperan dalam hukum, kesehatan, pendidikan, keluarga, hingga hubungan cinta. Pengakuan bisa terjadi di
ruang publik dan ruang pribadi, dan (5) confession
adalah sebuah ritual wacana. Dari
pemaparan diatas tergambarkan bagaimana moral Kristen begitu mengatur kehidupan
masyarakat terkait seksualitas mereka.
Hubungan kekuasaan, pengetahuan dengan
seksualitas bisa ditemukan dalam empat domain yang menghubungkannya, seperti
yang diungkapkan oleh Foucoult:
o
the
hysterization of women’s bodies, yang memandang tubuh perempuan highly sexual dan obyek dari pengetahuan
medis. Tubuh perempuan sebagai pusat reproduksi juga menjadi masalah
kepentingan publik dan kontrol publik
o
the
pedagogization of children sex, yang melihat anak-anak sebagai sangat
seksual dan seksualitas sebagai bahaya yang perlu dipantau dan dikontrol
o
the socialization
of procreative behavior, yang melihat reproduksi dan seks sebagai
kepentingan publik
o
the psychiatrization
of perverse pleasure, yang itu mengkaji seks sebagai fenomena medis dan
psikiatrik atau kejiwaan
Empat domain
tersebut menggambarkan bahwa seksualitas adalah konstruksi sosial yang
menyalurkan beragam relasi kuasa yang berbeda-beda. Lalu, pada akhir abad
ke-10, terjadi kemunculan seksologi di mana Richard bon Krafft Ebing membuat
empat klasifikasi penyimpangan seksual
yaitu sadisme, masokisme, fetisisme, dan homoseksualitas. Pengetahuan yang
terus menerus berkembanglah yang kemudian melahirkan kekuasaan dengan membentuk
aturan dan penetapan jenis penyimpangan terkait seksualitas.
Di Indonesia, seksualitas sendiri
menjadi sebuah wilayah yang menuai kontroversi (sexuality as a contested domain), terlihat dari adanya kepentingan
negara dalam mengatur seksualitas. Hal
ini dipastikan karena adanya konstruksi sosial, realita yang kita ketahui
sekarang adalah akibat dari konstruksi masyarakat. Misal persoalan gender,
gender bukanlah merupakan sesuatu yang inheren, tetapi didapatkan dari
interaksi yang terjadi di masyarakat dan pada akhirnya kita mendapatkan peran yang
kita miliki sekarang.
Kini, pengaturan undang-undang
terkait seksualitas di Indonesia menurut saya penuh ketidakjelasan. Hal ini
menurut saya terjadi karena seksualitas masih sering dianggap tabu oleh
masyarakat Indonesia. Kecurigaan saya hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas
dianggap tabu karena ada pengaruh kolonialisme. Contohnya, terdapat penyebutan
pada jenis kelamin merujuk pada bahasa Inggris dibanding bahasa lokal.
Kenyataannya, pengaturan mengenai seksualitas tercermin sejak zaman pemerintahan
Belanda saat kolonialisme di Indonesia melalui Undang-Undang seperti adanya buku
panduan tentang perkawinan.
Pada
dasarnya jika berbicara tentang pengaturan seksualitas, pasti terdapat tumpang
tindih dari pandangan atau perspektif agama dan negara. Hal ini menjadikan salah satu akibat
ketidakjelasan pengaturan seksualitas. Melalui tulisan ini, saya akan
memberikan beberapa contoh regulasi mengenai seksualitas yang bisa ditemukan di
kehidupan masyarakat Indonesia. Regulasi seksualitas di Indonesia berupaya
untuk mengontrol konsensus tentang seksualitas. Salah satu regulasinya adalah
upaya memutus homoseksual sebagai normatif gender, namun terus mengalami
revisi. Hal ini menggambarkan bahwa negara benar-benar mengatur bagaimana
hubungan heteroseksual yaitu dengan mengkriminalisasi dan menganggap
perilaku-perilaku di luar heteroseksual sebagai hal yang kriminal. Bisa kita
lihat dalam berita di media televisi, radio, cetak, maupun online, bagaimana
perilaku homoseksual selalu dikatakan salah dan bersifat kriminal. Dalam hal
ini, media mempunyai peran penting bagaimana menjadi saluran bagi negara untuk
menyebarluaskan seksualitas itu sendiri (deployment
of sexuality).
Dalam
jurnal ”To Cover the
aurat: Veiling, Sexual Morality and Agency among the Muslim Minangkabau,
Indonesia”, tergambarkan bagaimana
pengaturan seksualitas terjadi melalui peran agama yakni agama Islam.
Pemberlakuan peraturan jilbab di Sumatra Barat menjadi suatu hal yang wajib.
Hal ini dikarenakan jilbab dalam masyarakayat Minangkabau dianggap sebagai
busana Islami bagi perempuan, ekspresi kesalahean, dan bentuk pendisiplinan
diri. Tentunya, fungsi utama jilbab dalam agama Islam adalah menutupi aurat. Dalam
jurnal tersebut, dijelaskan juga bahwa jilbab menunjukan kemuliaan perempuan
dan melindungi perempuan dari pelecehan seksual. Pernyataan ini menggambarkan
bahwa domain hubungan kekuasaan dan seksualitas yang dikatakan oleh Foucoult yakni
the hysterization of women’s bodies
berlaku di Indonesia, khususnya di Sumatra Barat. Peraturan mewajibkan memakai
jilbab agar terhindar dari pelecehan seksual merupakan pandangan terhadap tubuh
perempuan yang highly sexual dan
seolah-olah mengundang untuk terjadinya pelecehan seksual. Maka dari itu,
kewajiban memakai jilbab diperlukan untuk alat kontrol publik.
Contoh lainnya adalah fenomena
homoseksualitas di Indonesia. Secara konteksual, tidak terdapat hukum tentang
homoseksual di Indonesia. Hukum pidana nasional tidak melarang hubungan
homoseksual pribadi dan yang tidak bersifat komersial antara orang dewasa.
Dilansir dari Indonesia Seeks to Imprison Gays (365Gay.com), sebuah RUU nasional untuk
mengkriminalisasi homoseksualitas, bersama dengan hidup bersama, perzinahan dan
praktek sihir, gagal diberlakukan pada tahun 2003 dan tidak ada rencana
berikutnya untuk memperkenalkan kembali undang-undang tersebut. Kemudian pada tahun 2002,
Pemerintah Indonesia memberi provinsi Aceh hak untuk menerapkan hukum syariah
Islam yang dapat mengkriminalisasi homoseksualitas, meskipun hanya ditujukan
untuk warga Muslim.
Hukum
Indonesia tidak mengkriminalisasi homoseksualitas, jika dilakukan secara
pribadi, non-komersial, dan di antara orang dewasa. Namun, hukum Indonesia
tidak mengakui pernikahan gay, serikat sipil, atau
manfaat kemitraan domestik. Pasangan sesama jenis tidak memenuhi syarat untuk
mengadopsi anak di Indonesia. Hanya pasangan menikah yang terdiri dari suami
dan istri yang boleh melakukan mengadopsi (sayapibujakarta.com). Dalam pengaturan undang-undang tersebut, terdapat
problematika dan dilema seperti perjuangan hak-hak kaum LGBT. Jika
undang-undang yang mengatakan bahwa perilaku homoseksual adalah bentuk
kriminalisasi, beberapa pihak terutama kaum dan pendukung LGBT tentu akan
menentangnya dan mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah sebuah diskriminasi
merujuk pada setiap manusia memiliki hak untuk menentukan dan melakukan pilihan
hidupnya. Maka dari itu, wacana mengenai perundang-undangan terkait LGBT belum
tuntas seperti adanya revisi terus menerus dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan kegiatan mencoba untuk mengintervensi peraturan
perundang-undangan tersebut.
Pengaturan terkait seksualitas juga
tergambarkan dari adanya undang-undang yang mengatur hukum perkawinan di
Indonesia seperti yang diatur dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mulai 2 Januari 1974. Undang-undang tersebut dibuat
dengan mempertimbangkan bahwa falsafah Negara Republik Indonesia adalah
Pancasila, maka perlu dibuat undang-undang perkawinan yang berlaku bagi semua
warga negara. Undang-undang
Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 Bab dan
terbagi dalam 67 pasal.
Selain itu juga terdapat pengaturan perkawinan dalam kompilasi hukum Islam
di Indonesia. Kompilasi hukum di Indonesia tersebut adalah ‘Buku
Kumpulan-kumpulan Hukum Islam’. Usaha untuk mengadakan kompilasi hukum Islam
telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan penyebarannya berdasarkan
Intruksi Pemerintah RI No. 1 tahun 1991 dan ditindaklanjuti dengan keputusan
Menteri Agama No. 154 tahun 1991.
Kompilasi hukum Islam di Indonesia diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan peradilan agama, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum yang menghasilkan buku tentang perkawinan. Dipaparkan pada pasal 1 ayat 1 pada UU tentang Perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hal ini menggambarkan secara tidak langsung bahwa perkawinan yang dibolehkan di Indonesia adalah antara laki-laki dan perempuan atau heteroseksual.
Kompilasi hukum Islam di Indonesia diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan peradilan agama, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum yang menghasilkan buku tentang perkawinan. Dipaparkan pada pasal 1 ayat 1 pada UU tentang Perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hal ini menggambarkan secara tidak langsung bahwa perkawinan yang dibolehkan di Indonesia adalah antara laki-laki dan perempuan atau heteroseksual.
Pengaturan dalam
membatasi kelahiran pun diatur oleh negara melalui program Keluarga Berencana
(KB). Keluarga Berencana adalah gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi
kelahiran. Pembatasan
dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran
seperti kondom, spiral, dan IUD. Dalam pengaturan ini, dianjurkan jumlah anak
dalam sebuah keluarga yang dianggap ideal adalah dua. Landasan hukum yang
mengatur KB ini diantaranya adalah Undang-undang No. 10 tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Peraturan
pemerintah no. 21 tahun 1994 tentang penyelenggaraan Pembangunan keluarga
Sejahtera, dan Peraturan pemerintah no 27 tahun tahun 1994 tentang Pengelolaan
Perkembangan Kependudukan.
Peraturan terkait seksualitas lainnya yang
belum tercantumkan dalam undang-undang namun telah disosialisikan adalah
penggunaan alat kontrasepsi dalam melakukan hubungan seks. Salah satunya adalah
Pekan Kondom Nasional, yaitu kegiatan sosialisasi dan edukasi mengenai
pentingnya menggunakan kondom dalam hubungan seks. Kampanye kondom ini dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran
kesehatan reproduksi untuk remaja karena data lapangan menunjukan sebanyak 2,3
juta remaja melakukan aborsi setiap tahunnya. Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, Drs. Nafsiah Mbio, menghimbau agar kondom disosialisaksikan guna
menekan angka aborsi dan kehamilan yang tidak
diinginkan. Namun, Pekan Kondom Nasional ini sendiri memunculkan problematika
yaitu berupa kontroversial bahwa beberapa pihak menanggapi kekhawatiran bahwa
pemberian kondom kepada remaja dapat memicu seks bebas. Kontroversi juga datang
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena MUI menganggap bahwa kondom hanya
boleh digunakan pasangan suami istri sebagai alat kontrasepsi atau alat
pencegah kehamilan, karena memang sudah menjadi program pemerintah melalui
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Keinginan
Menteri Kesehatan mengkampanyekan kondom adalah untuk mencegah tingginya angka
aborsi dan juga mencegah penularan HIV/AIDS di kalangan remaja. Hal ini
menimbulkan problematika tersendiri karena sebagian besar masyarakat mempunyai pegangan
agama dan kebudayaan yang tentunya melarang akan hubungan seks bebas. Peraturan
menggunakan kondom pada remaja ini merupakan domain Foucoult terhadap hubungan
kekuasaan dan seksualitas yaitu the pedagogization of children sex. Peraturan pemakaian kondom ini dinilai
penting dalam rangka pandangan anak-anak dan remaja dinilai sangat seksual dan
seksualitas sebagai bahaya yang perlu dipantau dan dikontrol. Selain itu juga
termasuk dalam domain the psychiatrization of perverse pleasure,
karena peraturan ini dibuat merujuk pada fenomena medis dan psikiatri, yaitu
menghindari terkena HIV/AIDS dan kegiatan aborsi.
Ketidakjelasan pengaturan
perundang-undangan lainnya yang kini tengah hangat menjadi bahan perbincangan
adalah undang-undang mengenai pedofilia yang akan dimasukan ke dalam
homoseksualitas. Hal ini dikarenakan baru-baru ini tengah terjadi fenomena
pedofilia yang cukup mencengangkan karena terjadi di salah satu sekolah dasar
di kawasan Jakarta Selatan. Sebelumnya, undang-undang mengenai pelecehan
seksual pada anak telah diatur pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang mengatur tentang ancaman jukuman bagi pelaku pelecehan seksual tehadap
anak di bawah umur. Namun, kini terjadi wacana dimana akan dibuat
perundang-undangan baru terkait pedofilia yang digabungkan dalam konteks
homoseksual. Padahal, pedofilia dan homoseksualitas tidak ada hubungannya sama
sekali.
Dari beberapa contoh pengaturan
perundang-undangan terkait seksualitas di Indonesia yang telah saya jabarkan
diatas, tergambarkan bahwa wacana seksualitas memang berkaitan erat dengan
kekuasaan di mana negara dan agama berperan penting dalam mengaturnya. Namun
dibalik pengaturan tersebut, masih banyak terdapat problematika dan dilematis
sendiri karena adanya anggapan seksualitas adalah hal yang tabu dan juga
permasalahan perjuangan hak yang bersifat paradoksal seperti pengaturan
homoseksualitas adalah hal kriminal dan juga homoseksualitas adalah hak pilihan
hidup seseorang.
REFERENSI:
Foucault, M.
2003. Seksualitas dan kekuasaan, dalam Desantara no.8, hal. 46-57.
Giddens, A.
2004. Transformation of Intimacy. Bab 2 ‘Seksualitas Menurut Foucault’. J akarta: Fresh Book. Hal. 23-49.
Internet:
Parker, L.
2008. ‘To Cover the aurat: Veiling, Sexual
Morality and Agency among the Muslim Minangkabau, Indonesia’, Intersections
issue 16, http://intersections.anu.edu.au/issue16/parker.htm
Artikel Indonesia Seeks to Imprison Gays di 365Gay.com, 30 September 2003 diakses pada Jumat,
6 Juni 2014 pukul 14:10 WIB
Artikel Proses Pengangkatan Anak diakses di http://www.sayapibujakarta.org/ind/adopsi.html pada Jumat, 6
Juni pukul 14:50 WIB
Artikel Kontroversi Pekan Kondom
Nasional dan Seks Bebas diakses di http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/12/13/mxoz43-kontroversi-pekan-kondom-nasional-dan-seks-bebas
pada Jumat, 6 Juni pukul 15:33 WIB
Artikel
Landasan Hukum Keluarga Berencana
diakses di http://www.bkkbn.go.id/ViewProfil.aspx?ProfilID=3
pada Jumat, 6 Juni pukul 15:50 WIB
Artikel
UU Perkawinan diakses di http://www.lbh-apik.or.id/uu-perk.htm pada Jumat 6 Juni pukul 16:30 WIB