Minggu, 06 Juli 2014

Problematika Pengaturan Undang-Undang Mengenai Seksualitas Di Indonesia

Wacana seksualitas tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan dan pengetahuan, menurut Foucault ketiganya memiliki keterkaitan. Wacana tentang seksualitas mengalami tiga periode sejarah diantaranya (1) seks sebagai ars erotica, terkait adanya kontrol kekuasaan yang bekerja dengan tidak adanya konsentrasi pada satu kekuataan, tetapi pada masing-masing individu. Hal tersebut mengartikan bahwa masing-masing individu diberi kebebasan untuk memaknai seks, (2) peroide kedua kemudian dipengaruhi oleh masuknya faktor agama yaitu otoritas gereja. Kekuatan agama kemudian merebut pakem-pakem yang ada pada kehidupan seksual masyarakat. Seks dimaknai sebagai sesuatu yang tabu dan juga adanya batasan-batasan mengenai wacana seks terhadap apa yang tidak sesuai dengan kitab Injil, dan (3) periode terakhir adalah wacana seks tetap menyelimuti pembicaraan masyarakat karena adanya rasa ingin tahu atas kehidupan seksual yang meningkat akibat adanya pengekangan. Lahirlah ilmu yang mempelajari seksualitas, yakni scientia sexualis.
Tulisan ini akan memaparkan bagaimana seksualitas dibelenggu oleh aturan-aturan yang berasal dari negara maupun agama dan mengantarkan pada problematika dan dilematis pengaturan terhadap wacana seksualitas itu sendiri. Sebelum memasuki fokus utama tulisan ini yaitu mengenai problematika pengaturan udang-undang mengenai seksualitas di Indonesia, ada baiknya untuk menelusuri sejarah pengaturan seksualitas itu sendiri, bagaimana kekuasaan dan pengetahuan bermain dalam ranah seksualitas. Dalam pembahasan mengenai seksualitas dan kekuasaan, Foucoult memberikan kritik terhadap Freud pada konsep psikoanalisis bahwa terdapat fenomena histeria yaitu fenomena kelupaan yang besar, kelupaan akan diri sendiri merujuk pada fenomena hasrat seksualitas. Kedua, adanya pengetahuan yang berkelebihan, yaitu pengetahuan tentang seksualitas yang ekstensif dan intensif. Dua kritik ini kemudian mengantarkan kita pada fenomena bagaimana seksualitas kemudian dibelenggu dalam kekuasaan.
Menelusuri fenomena seksualitas di Barat, pada dasarnya masyarakat Barat tidak memiliki pengetahuan tentang seni yang erotis, masyarakat Timur justru lebih bebas dalam pengetahuannya mengenai seks. Lalu, pada gerakan zaman Romawi dan Yunani Kuno, seksualitas bersifat bebas, terjadi percampuran antaa agama dan seksualitas. Pada akhirnya, Kristen membelenggu isu-isu seksualitas menjadi tiga ciri yaitu (1) agama Kristen menetapkan monogami, (2) menyatakan reproduksi adalah fungsi utama ekslusif, yaitu hanya membuat anak, bukanlah masalah kenikmatan, dan (3) kenikmatan seksual adalah kejahatan. Paul Vein kemudian menambahkan bahwa tiga ciri tersebut sudah ada di Barat jauh sebelum agama Kristen masuk. Hal inilah yang kemudian dapat disimpulkan sebagai alasan mengapa masyarakat Barat tidak memiliki pengetahuan tentang seni yang erotis, yaitu karena adanya aturan-aturan yang membelenggu isu seksualitas itu sendiri.
Agama Kristen menetapkan mekanisme kekuasaan dengan  menanamkan nilai dan moral yang baru, diantaranya adalah (1) kepastoran sebagai sebuah kekuasaan, bukanlah kekuasaan dalam arti menguasai suatu wilayah, tetapi membuat kepatuhan pada masyarakat dan penyejahteraan umatnya, (2) kepastoran berperan dalam masyarakat Kristen sebagai pastor dan penggembala, dan (3) adanya kekuasaan yang khas dari kepastoran. Penanaman nilai dan moral tersebut diatasnamakan kekuasaan pastor karena terkait dengan keselamatan. Hal ini dikarenakan pastor dianggap sebagai pihak yang dapat menuntut dari pihak lain pada sebuah keputusan yang absolut. Pastor memiliki wewenang untuk umatnya ke jalan yang benar merujuk pada firman Tuhan. Lalu, kepastoran juga membawa keseluruhan rangkaian teknik dan prosedur yang terkait dengan kebenaran dan produksi kebenaran.
Kekuasaan atas seksualitas menurut Foucoult tampil di atas segalanya sebagai kekuatan yang mengekang, seperti mengekang kesenangan. Seksualitas terus menerus diungkap dan diteliti yang kemudian melahirkan jalinan pola beragam dari seksualitas dan kekuasaan. Contohnya adalah fenomena agama Katolik dan pengakuan (confession) yang mana seksualitas disubsidi oleh sumber-sumber kekuasaan yang beragam dan berpengaruh terhadap berbagai tindakan. Dalam confession terdapat pastor sebagai wakil Tuhan. Umat berkunjung pada pastor untuk menjelaskan dosa-dosanya, maka dapat dikatakan bahwa confession menjadi perantara dosa, tak jarang dosa yang diungkapkan berkaitan dengan masalah seksualitas seperti berhubungan seks sebelum menikah. Terjadilah penciptaan seksualitas yang mempengaruhi perkembangan politik anatomi tubuh seperti hubungan seks dalam pernikahan merupakan tanggung jawab dan pengaturan diri.
Dari penjabaran diatas, terlihat bahwa agama Kristen menancapkan kekuasaan antara masyarakat sipil dan asketisme yaitu terdapat ajaran rohani yang mengendalikan tubuh dan jiwa. Aturan-aturan tersebut merupakan pembentukan sebuah subjektivitas dari agama Kristen terhadap seksualitas. Jadi, agama Kristen berusaha membentuk sudut pandang tentang seksualitas lewat kekuasaan dan kontrol yang dilakukan. Sejarah seksualitas dalam masyarakat Barat kemudian menjelaskan bagaimana hubungan seks dan kekuasaan melewati peran agama yaitu agama Kristen.
Konsep seksualitas lama kelamaan dipenuhi oleh wacana Kristen yang menggambarkan bahwa terjadinya perubahan institusional dalam seksualitas. Seksualitas merupakan sebuah konstruksi sosial yang beroperasi dalam wilayah kekuasaan. Perempuan tidak mengerti tentang seksualitas karena pengetahuan tentang seksualitas hanya membicarakan seksualitas pada laki-laki. Pada era Victorian, hanya sedikit jurnal kesehatan dan publikasi semi resmi lainnya yang dapat diperoleh. Adanya penyensoran dan tidak tersedianya tulisan kesehatan mengenai perempuan membuat perempuan akhirnya tidak memiliki pengetahuan seks yang cukup dan ia menjaga situasi tersebut untuk menyikapi keinginan-keinginan laki-laki. Amber Hollibaugh kemudian menyuarakan kaum perempuan yang ingin mengungkapkan hasrat-hasrat yang masih belum diartikulasikan.
            Bagaimana kemudian negara melangsungkan kekuasaannya terhadap seksualitas bisa dilihat dari beberapa fenomena. Salah satunya adalah perubahan ikatan pernikahan. Pembentukan ikatan pernikahan pada sebagian besar penduduk menjadi dasar pertimbangan lain dari keputusan nilai ekonomis. Lalu, berkembang konsep mengenai cinta romantis yang ideal, inilah pertama kalinya perempuan dan seksualitas mempunyai arti lain daripada sekedar siklus kehamilan karena tidak hanya berbicara mengenai nilai ekonomi, tetapi ada sisi afeksi. Fenomena lainnya adalah penyusutan jumlah anggota keluarga yang didorong oleh alat kontrasepsi. Politik anatomi tubuh lainnya bisa dilihat dari kemunculan program keluarga berencana, praktik sunat, obat-obatan penambah nafsu, dan penambah stamina.
Tentunya refleksivitas institusional dan seksual ini tidak terjadi atau muncul begitu saja, adanya kuasa pengetahuan yang masuk ke dalam organisasi sosial salah satu penyebabnya. Saat berbicara mengenai kekuasaan, kita tidak bisa lepas dari pengetahuan karena pengetahuan lah yang dikembangkan untuk mengontrol tubuh (politik manajemen tubuh). Pengetahuan menyebabkan adanya kontrol dari negara seperti regulasi tentang perzinahan.
            Politik anatomi tubuh juga merambah pada kekuasaan yang mengatur hal-hal bersifat biologis atau dikenal sebagai biopower. Dalam biopower ini, kekuasaan dan pengetahuan selalu berjalan beriringan dan mempengaruhi satu sama lain dalam konteks masyarakat modern. Bagaimana dengan pengetahuan, manusia dapat mengembangkan mekanisme pengaturan kehidupan biologis.
Dikarenakan kekuasaan berasal dari wacana-wacana, maka kekuasaan tidak memiliki sumber tunggal, tetapi justru heterogen dan pluralistik yaitu datang dari mana saja dan berada di mana saja. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang diperoleh, dirampas, atau dibagi, yang digenggam atau dilepaskan. Kekuasaan terwujud dari berbagai arah yang tidak terhitung jumlahnya. Maka dari itu lahirlah kutipan ”power produces knowledge, power and knowledge directly imply one another.
Mengenai wacana wacana ilmiah tentang seksualitas (scientia sexualis) di Barat, mereka tidak memiliki seni erotik, tidak belajar bagaimana bercinta, bagaimana memberi kenikmatan pada orang lain atau pun mengabdikan dirinya untuk kenikmatan. Satu-satunya wacana seni erotik di Barat bersifat tertutup dan sepenuhnya pribadi, yaitu (1) orang berupaya untuk memiliki ilmu pengetahuan seksual, bukan tentang kenikmatannya, (2) sejak abad pertengahan sampai dengan abad 19, masyarakat Eropa dicegah untuk menginterogasikan seksualitas karena kuatnya moral borjuis dan moral Kristen, (3) salah satu cara utama memproduksi kebenaran adalah ritual confession (pengakuan dosa) dalam agama Kristen. Confession adalah alat analisis, refleksi dan deteksi dari apa yang terjadi dalam hidup setiap orang sebagai individu, (4) confession berperan dalam hukum, kesehatan, pendidikan, keluarga, hingga  hubungan cinta. Pengakuan bisa terjadi di ruang publik dan ruang pribadi, dan (5) confession adalah sebuah ritual wacana. Dari pemaparan diatas tergambarkan bagaimana moral Kristen begitu mengatur kehidupan masyarakat terkait seksualitas mereka.
Hubungan kekuasaan, pengetahuan dengan seksualitas bisa ditemukan dalam empat domain yang menghubungkannya, seperti yang diungkapkan oleh Foucoult:
o       the hysterization of women’s bodies, yang memandang tubuh perempuan highly sexual dan obyek dari pengetahuan medis. Tubuh perempuan sebagai pusat reproduksi juga menjadi masalah kepentingan publik dan kontrol publik
o       the pedagogization of children sex, yang melihat anak-anak sebagai sangat seksual dan seksualitas sebagai bahaya yang perlu dipantau dan dikontrol
o       the socialization of procreative behavior, yang melihat reproduksi dan seks sebagai kepentingan publik
o       the psychiatrization of perverse pleasure, yang itu mengkaji seks sebagai fenomena medis dan psikiatrik atau kejiwaan
Empat domain tersebut menggambarkan bahwa seksualitas adalah konstruksi sosial yang menyalurkan beragam relasi kuasa yang berbeda-beda. Lalu, pada akhir abad ke-10, terjadi kemunculan seksologi di mana Richard bon Krafft Ebing membuat empat  klasifikasi penyimpangan seksual yaitu sadisme, masokisme, fetisisme, dan homoseksualitas. Pengetahuan yang terus menerus berkembanglah yang kemudian melahirkan kekuasaan dengan membentuk aturan dan penetapan jenis penyimpangan terkait seksualitas.
            Di Indonesia, seksualitas sendiri menjadi sebuah wilayah yang menuai kontroversi (sexuality as a contested domain), terlihat dari adanya kepentingan negara dalam mengatur seksualitas.  Hal ini dipastikan karena adanya konstruksi sosial, realita yang kita ketahui sekarang adalah akibat dari konstruksi masyarakat. Misal persoalan gender, gender bukanlah merupakan sesuatu yang inheren, tetapi didapatkan dari interaksi yang terjadi di masyarakat dan pada akhirnya kita mendapatkan peran yang kita miliki sekarang.
            Kini, pengaturan undang-undang terkait seksualitas di Indonesia menurut saya penuh ketidakjelasan. Hal ini menurut saya terjadi karena seksualitas masih sering dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Kecurigaan saya hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas dianggap tabu karena ada pengaruh kolonialisme. Contohnya, terdapat penyebutan pada jenis kelamin merujuk pada bahasa Inggris dibanding bahasa lokal. Kenyataannya, pengaturan mengenai seksualitas tercermin sejak zaman pemerintahan Belanda saat kolonialisme di Indonesia melalui Undang-Undang seperti adanya buku panduan tentang perkawinan.
Pada dasarnya jika berbicara tentang pengaturan seksualitas, pasti terdapat tumpang tindih dari pandangan atau perspektif agama dan negara. Hal ini menjadikan salah satu akibat ketidakjelasan pengaturan seksualitas. Melalui tulisan ini, saya akan memberikan beberapa contoh regulasi mengenai seksualitas yang bisa ditemukan di kehidupan masyarakat Indonesia. Regulasi seksualitas di Indonesia berupaya untuk mengontrol konsensus tentang seksualitas. Salah satu regulasinya adalah upaya memutus homoseksual sebagai normatif gender, namun terus mengalami revisi. Hal ini menggambarkan bahwa negara benar-benar mengatur bagaimana hubungan heteroseksual yaitu dengan mengkriminalisasi dan menganggap perilaku-perilaku di luar heteroseksual sebagai hal yang kriminal. Bisa kita lihat dalam berita di media televisi, radio, cetak, maupun online, bagaimana perilaku homoseksual selalu dikatakan salah dan bersifat kriminal. Dalam hal ini, media mempunyai peran penting bagaimana menjadi saluran bagi negara untuk menyebarluaskan seksualitas itu sendiri (deployment of sexuality).
            Dalam jurnal ”To Cover the aurat: Veiling, Sexual Morality and Agency among the Muslim Minangkabau, Indonesia”, tergambarkan bagaimana pengaturan seksualitas terjadi melalui peran agama yakni agama Islam. Pemberlakuan peraturan jilbab di Sumatra Barat menjadi suatu hal yang wajib. Hal ini dikarenakan jilbab dalam masyarakayat Minangkabau dianggap sebagai busana Islami bagi perempuan, ekspresi kesalahean, dan bentuk pendisiplinan diri. Tentunya, fungsi utama jilbab dalam agama Islam adalah menutupi aurat. Dalam jurnal tersebut, dijelaskan juga bahwa jilbab menunjukan kemuliaan perempuan dan melindungi perempuan dari pelecehan seksual. Pernyataan ini menggambarkan bahwa domain hubungan kekuasaan dan seksualitas yang dikatakan oleh Foucoult yakni the hysterization of women’s bodies berlaku di Indonesia, khususnya di Sumatra Barat. Peraturan mewajibkan memakai jilbab agar terhindar dari pelecehan seksual merupakan pandangan terhadap tubuh perempuan yang highly sexual dan seolah-olah mengundang untuk terjadinya pelecehan seksual. Maka dari itu, kewajiban memakai jilbab diperlukan untuk alat kontrol publik.
Contoh lainnya adalah fenomena homoseksualitas di Indonesia. Secara konteksual, tidak terdapat hukum tentang homoseksual di Indonesia. Hukum pidana nasional tidak melarang hubungan homoseksual pribadi dan yang tidak bersifat komersial antara orang dewasa. Dilansir dari Indonesia Seeks to Imprison Gays (365Gay.com), sebuah RUU nasional untuk mengkriminalisasi homoseksualitas, bersama dengan hidup bersama, perzinahan dan praktek sihir, gagal diberlakukan pada tahun 2003 dan tidak ada rencana berikutnya untuk memperkenalkan kembali undang-undang tersebut. Kemudian pada tahun 2002, Pemerintah Indonesia memberi provinsi Aceh hak untuk menerapkan hukum syariah Islam yang dapat mengkriminalisasi homoseksualitas, meskipun hanya ditujukan untuk warga Muslim.
Hukum Indonesia tidak mengkriminalisasi homoseksualitas, jika dilakukan secara pribadi, non-komersial, dan di antara orang dewasa. Namun, hukum Indonesia tidak mengakui pernikahan gay, serikat sipil, atau manfaat kemitraan domestik. Pasangan sesama jenis tidak memenuhi syarat untuk mengadopsi anak di Indonesia. Hanya pasangan menikah yang terdiri dari suami dan istri yang boleh melakukan mengadopsi (sayapibujakarta.com). Dalam pengaturan undang-undang tersebut, terdapat problematika dan dilema seperti perjuangan hak-hak kaum LGBT. Jika undang-undang yang mengatakan bahwa perilaku homoseksual adalah bentuk kriminalisasi, beberapa pihak terutama kaum dan pendukung LGBT tentu akan menentangnya dan mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah sebuah diskriminasi merujuk pada setiap manusia memiliki hak untuk menentukan dan melakukan pilihan hidupnya. Maka dari itu, wacana mengenai perundang-undangan terkait LGBT belum tuntas seperti adanya revisi terus menerus dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan kegiatan mencoba untuk mengintervensi peraturan perundang-undangan tersebut.
Pengaturan terkait seksualitas juga tergambarkan dari adanya undang-undang yang mengatur hukum perkawinan di Indonesia seperti yang diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mulai 2 Januari 1974. Undang-undang tersebut dibuat dengan mempertimbangkan bahwa falsafah Negara Republik Indonesia adalah Pancasila, maka perlu dibuat undang-undang perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 Bab dan terbagi dalam 67 pasal.
Selain itu juga terdapat pengaturan perkawinan dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia. Kompilasi hukum di Indonesia tersebut adalah ‘Buku Kumpulan-kumpulan Hukum Islam’. Usaha untuk mengadakan kompilasi hukum Islam telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan penyebarannya berdasarkan Intruksi Pemerintah RI No. 1 tahun 1991 dan ditindaklanjuti dengan keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991.
Kompilasi hukum Islam di Indonesia diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan peradilan agama, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum  yang menghasilkan buku tentang perkawinan. Dipaparkan pada pasal 1 ayat 1 pada UU tentang Perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hal ini menggambarkan secara tidak langsung bahwa perkawinan yang dibolehkan di Indonesia adalah antara laki-laki dan perempuan atau heteroseksual.
            Pengaturan dalam membatasi kelahiran pun diatur oleh negara melalui program Keluarga Berencana (KB). Keluarga Berencana adalah gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran. Pembatasan dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran seperti kondom, spiral, dan IUD. Dalam pengaturan ini, dianjurkan jumlah anak dalam sebuah keluarga yang dianggap ideal adalah dua. Landasan hukum yang mengatur KB ini diantaranya adalah Undang-undang No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Peraturan pemerintah no. 21 tahun 1994 tentang penyelenggaraan Pembangunan keluarga Sejahtera, dan Peraturan pemerintah no 27 tahun tahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan.
Peraturan terkait seksualitas lainnya yang belum tercantumkan dalam undang-undang namun telah disosialisikan adalah penggunaan alat kontrasepsi dalam melakukan hubungan seks. Salah satunya adalah Pekan Kondom Nasional, yaitu kegiatan sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya menggunakan kondom dalam hubungan seks. Kampanye kondom ini dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran kesehatan reproduksi untuk remaja karena data lapangan menunjukan sebanyak 2,3 juta remaja melakukan aborsi setiap tahunnya. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Drs. Nafsiah Mbio, menghimbau agar kondom disosialisaksikan guna menekan angka aborsi dan kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, Pekan Kondom Nasional ini sendiri memunculkan problematika yaitu berupa kontroversial bahwa beberapa pihak menanggapi kekhawatiran bahwa pemberian kondom kepada remaja dapat memicu seks bebas. Kontroversi juga datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena MUI menganggap bahwa kondom hanya boleh digunakan pasangan suami istri sebagai alat kontrasepsi atau alat pencegah kehamilan, karena memang sudah menjadi program pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.  
Keinginan Menteri Kesehatan mengkampanyekan kondom adalah untuk mencegah tingginya angka aborsi dan juga mencegah penularan HIV/AIDS di kalangan remaja. Hal ini menimbulkan problematika tersendiri karena sebagian besar masyarakat mempunyai pegangan agama dan kebudayaan yang tentunya melarang akan hubungan seks bebas. Peraturan menggunakan kondom pada remaja ini merupakan domain Foucoult terhadap hubungan kekuasaan dan seksualitas yaitu the pedagogization of children sex. Peraturan pemakaian kondom ini dinilai penting dalam rangka pandangan anak-anak dan remaja dinilai sangat seksual dan seksualitas sebagai bahaya yang perlu dipantau dan dikontrol. Selain itu juga termasuk dalam domain the psychiatrization of perverse pleasure, karena peraturan ini dibuat merujuk pada fenomena medis dan psikiatri, yaitu menghindari terkena HIV/AIDS dan kegiatan aborsi.
Ketidakjelasan pengaturan perundang-undangan lainnya yang kini tengah hangat menjadi bahan perbincangan adalah undang-undang mengenai pedofilia yang akan dimasukan ke dalam homoseksualitas. Hal ini dikarenakan baru-baru ini tengah terjadi fenomena pedofilia yang cukup mencengangkan karena terjadi di salah satu sekolah dasar di kawasan Jakarta Selatan. Sebelumnya, undang-undang mengenai pelecehan seksual pada anak telah diatur pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang ancaman jukuman bagi pelaku pelecehan seksual tehadap anak di bawah umur. Namun, kini terjadi wacana dimana akan dibuat perundang-undangan baru terkait pedofilia yang digabungkan dalam konteks homoseksual. Padahal, pedofilia dan homoseksualitas tidak ada hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contoh pengaturan perundang-undangan terkait seksualitas di Indonesia yang telah saya jabarkan diatas, tergambarkan bahwa wacana seksualitas memang berkaitan erat dengan kekuasaan di mana negara dan agama berperan penting dalam mengaturnya. Namun dibalik pengaturan tersebut, masih banyak terdapat problematika dan dilematis sendiri karena adanya anggapan seksualitas adalah hal yang tabu dan juga permasalahan perjuangan hak yang bersifat paradoksal seperti pengaturan homoseksualitas adalah hal kriminal dan juga homoseksualitas adalah hak pilihan hidup seseorang.


REFERENSI:

Foucault, M.
2003. Seksualitas dan kekuasaan, dalam Desantara no.8, hal. 46-57.

Giddens, A.
2004. Transformation of Intimacy. Bab 2 ‘Seksualitas Menurut Foucault’. J      akarta: Fresh Book. Hal. 23-49.

Internet:

Parker, L.
2008. ‘To Cover the aurat: Veiling, Sexual Morality and Agency among the Muslim Minangkabau, Indonesia’, Intersections issue 16, http://intersections.anu.edu.au/issue16/parker.htm

Artikel Indonesia Seeks to Imprison Gays di 365Gay.com, 30 September 2003 diakses pada Jumat, 6 Juni 2014 pukul 14:10 WIB
Artikel Proses Pengangkatan Anak diakses di http://www.sayapibujakarta.org/ind/adopsi.html pada Jumat, 6 Juni pukul 14:50 WIB

Artikel Kontroversi Pekan Kondom Nasional dan Seks Bebas diakses di http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/12/13/mxoz43-kontroversi-pekan-kondom-nasional-dan-seks-bebas pada Jumat, 6 Juni pukul 15:33 WIB

Artikel Landasan Hukum Keluarga Berencana diakses di http://www.bkkbn.go.id/ViewProfil.aspx?ProfilID=3 pada Jumat, 6 Juni pukul 15:50 WIB

Artikel UU Perkawinan diakses di http://www.lbh-apik.or.id/uu-perk.htm pada Jumat 6 Juni pukul 16:30 WIB


Maraknya Kegiatan Urban Farming Akibat Bertambahnya Kepadatan Penduduk Di Perkotaan

Penduduk yang tinggal di perkotaan makin bertambah seiring berjalannya waktu. Tak hanya di kota-kota besar di Indonesia, fenomena ini juga terjadi di kota-kota di seluruh dunia. Di negara berkembang, khususnya, kepadatan penduduk ini menimbulkan banyak dampak seperti kemiskininan, kurangnya lahan pekerjaan, terjadinya ledakan urbanisasi, hingga permasalahan ketersedian pasokan pangan. Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, muncul salah satu tipe baru pertanian yang multi-fungsi untuk masyarakat kota dalam hal sosial maupun ekonomi yaitu pertanian perkotaan atau yang lebih dikenal dengan nama urban farming.
Kegiatan urban farming di kota-kota besar di seluruh dunia makin marak digalakkan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana pengetahuan masyarakat mengenai jumlah dan distribusi penduduk yang mengantarkan mereka untuk berpikir dalam menilai ulang bagaimana pola konsumsi dan gaya hidup, salah satunya dengan urban farming. Dikarenakan masyarakat melihat bagaimana komposisi penduduk yang semakin tahun semakin bertambah kepadatannya, makin terlihat pula permasalahan yang ada dibaliknya. Permasalahan tersebut diantaranya adalah ketersediaan pasokan pangan.
Makin berkurangnya lahan karena kepadatan penduduk menyebabkan harga pangan makin melambung. Masyarakat pun harus mencari cara membuka lahan baru pertanian. Selain itu, produk pertanian sangat bergantung pada alam, cuaca, dan proses pengerjaannya. Ketika cuaca tidak menentu, petani harus mengalami kerugian dan gagal panen yang mengantarkan produk pertanian tertentu langka dan harganya mahal. Belum lagi maraknya penggunaan pestisida yang menyebabkan sayur mayur dan buah-buahan mengandung racun juga tingkat kesegaran pasokan pangan tersebut. Maka dari itu, banyak masyarakat yang memanfaatkan lahan mereka di perkotaan untuk menghasilkan produk pertanian seperti sayuran dan buah-buahan. Lahannya meliputi ruang sempit sekitar teras rumah hingga atap bangunan. Hal tersebutlah yang membuat urban farming menjelma menjadi gaya hidup orang-orang perkotaan karena mereka cenderung ingin hidup lebih normal, sehat, dan mendapatkan pangan yang bergizi, sehat, harganya terjangkau dan bebas dari pestisida.
Urban farming kemudian menjadi satu kegiatan yang dilakukan masyarakat perkotaan terkait resiko yang mereka hadapi yakni permasalahan ketersediaan bahan pangan dan lingkungan hidup. Diharapkan urban farming dapat menjadikan sumber makanan bagi penduduk perkotaan, baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk diperjualbelikan. Pentingnya urban farming adalah kegiatan ini memasok pangan yang segar dan aman, hal ini dikarenakan masyarakat perkotaan sendiri yang menanam dan merawat tanaman tersebut. Berbeda dengan halnya jika mereka membeli pangan seperti sayur mayur di pasar yang mana sering mendapatkan kondisinya sudah tidak segar dan tidak aman karena menggunakan pestisida.
Urban farming merupakan salah satu konsep pertanian yang dapat dijalankan di perkotaan karena dengan urban farming diharapkan setiap penduduk kota dapat memaksimalkan lahan yang sempit untuk kegiatan pertanian yang dialakukan secara intensif dengan teknologi yang memungkinkan hasil yang tinggi pada lahan terbatas. Urban farming juga  diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dengan keuangan yang dapat dijangkau, lalu juga dapat mengurangi pencemaran udara, terutama gas CO2 yang akan diserap oleh tanaman.
Dilansir dari enciety.com, urban farming adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan yang melibatkan ketrampilan, keahlian dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan tanaman dan pangan. Hal utama yang menyebabkan munculnya aktivitas ini adalah upaya memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, menambah penghasilan masyarakat sekitar juga sebagai sarana rekreasi dan hobi (2011).
Dalam jurnal “Urban Agriculture In India and Its Challange” dipaparkan bahwa urban farming kini menjadi kegiatan yang marak bagi masyarakat India terutama di kota Delhi dan Mumbai.  Menurut sensus penduduk tahun 2011, jumlah penduduk India bertambah dengan jumlah 1,21 miliar jiwa selama 10 tahun terakhir, peningkatannya sebesar 181 juta jiwa. Hal ini dikarenakan urbanisasi berlangsung di tingkat yang lebih cepat di India. Penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di India, menurut sensus penduduk 1901, adalah 11,4%. Kemudian, meningkat menjadi 28,53% menurut sensus penduduk tahun 2001, dan melintasi 30% per sensus penduduk 2011 menjadi 31,16%.
Pada negara berkembang seperti India, tentunya pertambahan penduduk yang semakin padat ini menyebabkan sumber daya menjadi langka dan terbatas. Dampak  dari ledakan populasi dalam kekurangan sumber daya yang paling dasar adalah ketersedian pasokan pangan. Menurut sebuah artikel oleh World Bank, "Lebih dari setengah dari semua anak-anak di bawah usia empat tahun mengalami kekurangan gizi, 30% dari bayi yang baru lahir secara signifikan berbadan kurus, dan 60% wanita mengalami anemia." Peningkatan populasi masih menjadi masalah serius di India, hal ini diyakinkan dengan fakta bahwa India menghabiskan sekitar 10 milyar dollar setiap tahun pada malnutrisi (World Bank Group), dan bahkan kemudian pemerintah India tidak dapat menyediakan kebutuhan gizi sehari-hari untuk semua penduduk di India. Fenomena ini kemudian mengantarkan India harus menghadapi permasalahan krisis harga pangan.
Krisis harga pangan dunia baru-baru ini telah memberikan pentingnya memahami dan menghadapi penyebab ketahanan pangan masyarakat perkotaan. Permasalahan kemudian datang bagi masyarakat perkotaan karena mereka menjadi kelompok pembeli bahan pangan yang tergantung pada harga dan pada persediaan pasar. Masyarakat perkotaan kemudian dapat menjadi kelompok masyarakat yang mengalami harga pangan yang lebih tinggi. Urban farming merupakan salah satu solusi yang dirasakan secara global untuk memenuhi permintaan pangan penduduk perkotaan. Ada sejumlah cara di mana urban farming pada prinsipnya dapat berdampak pada ketahanan pangan perkotaan. Di tingkat rumah tangga, urban farming dapat menjadi sumber penghasilan, dapat memberikan akses langsung ke sejumlah besar pangan yang sehat dan aman juga pangan yang lebih bervariasi, dapat meningkatkan stabilitas konsumsi pangan rumah tangga terhadap masa musiman atau kekurangan.
Sama halnya dengan di India, penduduk Amerika juga mulai menggalakan kegiatan urban farming menjadi bagian dari hidup mereka. Dilansir dari jurnal ”Urban Agriculture and Community Food Security in the United States: Farming from the City Center to the Urban Fringe”, Pada abad ke-21, urbanisasi meningkat di seluruh dunia terutama di Amerika Serikat sebanyak 80% penduduk tinggal di kota. Hal ini berbeda dengan 100 tahun yang lalu ketika 50% penduduk Amerika hidup di pedesaan. Sebagai penduduk perkotaan yang terus mengalami perkembangan, terjadi kompleksitas mengenai bagaimana mendapatkan pasokan pangan atau dengan kata lain terjadinya ketahanan pangan (food security) di Amerika.  Urban farming adalah salah satu kegiatan yang menjadi solusi dari masalah ini dengan cara yang inovatif. Pengelolaan lingkungan ditingkatkan melalui upaya urban farming. Pembangunan ekonomi dan revitalisasi masyarakat juga dicapai melalui urban farming ketika penduduk perkotaan mendapatkan kemampuan untuk menghasilkan dan mengelola pasokan pangan sendiri. Kesehatan individu, pemberdayaan, dan kesejahteraan dibuat ketika penduduk kota memiliki akses menuju kontrol yang lebih besar mengenai sistem pangan mereka sendiri.
Mengenai ketahanan pangan di Amerika, hal ini terjadi karena banyak penduduk Amerika mengalami kelaparan. Seperti yang dikemukakan oleh USDA, sebanyak 31 juta jiwa mengalami rawan pangan pada tahun 1999 dan 12 juta jiwa diantaranya adalah anak-anak. Kemiskinan adalah sumber akar dari terjadinya ketahanan pangan. Pada tahun 2001, lebih dari 31 juta jiwa (11,3% dari populasi) hidup di bawah angka garis kemiskinan. Setiap tahun dalam dekade terakhir semakin banyak keluarga di Amerika melaporkan bahwa mereka kehabisan makanan dan tidak punya uang untuk membeli makanan yang lebih banyak.
Ketahanan pangan tentunya mempengaruhi kualitas hidup penduduk perkotaan dalam beraktivitas sehari-hari. Kelaparan dan gizi buruk juga terkait dengan peningkatan penyakit menular, faktor risiko penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan gagal jantung. Bahkan ketika pendapatan penduduk perkotaan tercukupi, bahan pangan tidak selalu begitu mudah diakses. Banyak supermarket yang ditutup atau dipindahkan dari kota karena daya saing pasar yang kompleks terkait dengan pemiskinan. Lalu, toko kelontong yang tersisa di perkotaan biasanya cenderung menaikkan harga, bahkan pada makanan pokok.
Jadi, ironisnya, orang-orang yang berpenghasilan terbatas di perkotaan cenderung mengeluarkan lebih banyak uang untuk pasokan pangan mereka. Kisaran, kesegaran, dan kualitas makanan juga sering dikompromikan dalam bahan pangan dalam kota, dengan demikian semakin membatasi pilihan maksimal pelanggan untuk makanan bergizi dengan harga terjangkau. Program urban farming dapat membangun ketahanan pangan masyarakat dengan meningkatkan kuantitas, kualitas, keteraturan dan keseimbangan gizi terhadap pasokan makanan, sehingga dapat mengatasi permasalahan tersedianya bahan pangan yang sehat dan bergizi, berkaitan dengan kesehatan mereka.
Urban farming memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan karena penduduk perkotaan mengurangi ketahanan pangan mereka sendiri dan mereka bisa memperjualbelikannya pada penduduk lain.  Sayuran segar dan buah yang diproduksi dari urban farming memiliki dua kali vitamin dan mikro-nutrisi penting yang tersedia dari produk supermarket dengan harga yang sama. Pangan yang diperoleh dari urban farming juga dibuktikan lebih aman dan dibandingkan dengan produk pertanian industri yang biasanya membutuhkan perjalanan jarak jauh demi mencapai pasar di perkotaan. Urban farming menghasilkan berbagai produk yang baik dan cocok untuk kebutuhan pangan dan tuntutan populasi perkotaan yang beragam, sehingga meyakinkan mereka pada program diet yang lebih seimbang. Selain itu, urban farming melestarikan sumber daya alam dan memberikan kontribusi untuk lingkungan hidup yang sehat.
Salah satu kota yang sudah menggalakan kegiatan urban farming di Indonesia adalah Surabaya. Dilansir dari laman SWA Online, walikota Surabaya yakni Tri Rismahari mengatakan bahwa ia menggalakan kegiatan urban farming pada masyarakat Surabaya. Dikatakan bahwa penduduk Surabaya kini berjumlah sekitar 3 juta dengan luas wilayah 330 km pesegi. Tri Rismahari berupaya menjadikan Kota Surabaya sebagai eco-city dan mengajak masyarakat Surabaya untuk mengerti dan mencintai lingkungan.
Kegiatan urban farmingSurabayauntuk menyeimbangkan ketersedian pangan yang sehat juga dilakukan untuk membantu perekonomian warga Surabaya. Contohnya seperti kampung budidaya padi dan lombok di Kelurahan Bangkingan dan Kelurahan Made. Setiap hari, cabe dari dua kelurahan tersebut dikirim ke Tangerang dan Palembang sebanyak 40 ton.
            Maraknya kegiatan urban farming khususnya di Indonesia juga ditandai dengan lahirnya suatu komunitas bernama Indonesia Berkebun yang kini memiliki ribuan anggota dari berbagai kota-kota besar di Indonesia. Indonesia Berkebun adalah suatu gerakan atau komunitas yang mendukung penanaman pangan di perkotaan atau dengan kata lain melakukan pertanian di perkotaan seperti di teras dan atap rumah. Penulis berkesempatan mewawancarai Sigit Kusumawijaya selaku salah satu inisiator Indonesia Berkebun pada tahun 2012 lalu. Dipaparkan oleh Sigit bahwa Indonesia Berkebun memiliki konsep yang berbasis pada 3E yaitu ekologi, edukasi, dan ekonomi.
Secara ekologi, Indonesia Berkebun ingin mengembalikan lahan yang tidak terpakai di daerah perkotaan. Kemudian, konsep edukasi dibawa oleh Indonesia Berkebun karena adanya keinginan untuk mengedukasi masyarakat agar masyarakat memilki ketahanan pangan. Jika harga pangan naik karena impor, masyarakat yang berkebun akan lebih gampang mendapatkan tanaman yang ditanam dengan tidak mengeluarkan biaya yang lebih besar. Masyarakat mulai menanam tanaman yang produktif dan dapat dikonsumsi seperti bayam, sawi, tomat, dan cabai di rumah masing-masing (home farming). Jika masyarakat dapat menerapkan kegiatan ini diharapkan saat harga bahan pangan naik, mereka tidak akan kena dampak karena bisa memetik di rumah.
Edukasi juga dilakukan agar masyarakat memiliki pola hidup yang lebih sehat, dalam arti menanam sayuran yang organik. Masyarakat menanam sendiri, maka dari itu mereka mengetahui prosesnya. Jika membeli bahan pangan di supermarket atau di pasa, mereka tidak tahu apakah sayuran atau buah yang mereka beli organik dan juga pastinya lebih mahal jika membeli di supermarket. Jika menanam sendiri, masyarakat mengetahui prosesnya, meskipun ada yang berlubang-lubang, tetapi sehat dan tidak memakai pestisida. Dari sisi ekonomi, hasil dari kebun tersebut bisa mereka jual dan menjadikannya sebagai pendapatan mereka sendiri.
            Gaynor (2006) menyatakan bahwa motivasi yang dialami penduduk untuk melakukan kegiatan urban farming bervariasi dan tergantung pada pergesaran konteks lingkungan, ekonomi, dan budaya. Seperti pada penduduk perkotaan di Australia mereka melakukan kegiatan urban farming dan menghasilkan produk pangan yang segar, sehat, dan berbeda dari produk pangan komersial. Motivasi mereka adalah memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan penduduk perkotaan lainnya, terkait koenteks ekonomi dan budaya karena mereka berhasil melangsungkan kehidupan mereka dengan memanfaatkan alamnya sendiri yang juga mengantarkan mereka memenuhi kebutuhan perekonomian.
            Merujuk pada populasi yang terus meningkat dan ketersediaan pangan yang makin menipis, terdapat manfaat sosial dari urban farming terkait ketahanan pangan yang mengantarkan kegiatan ini menjadi gaya hirup masyarakat perkotaan. Beberapa negara maju, terutama yang sangat bergantung pada impor pangan, sangat rentan terhadap kekurangan pangan yang mungkin dipicu oleh ketidakstabilan ekonomi atau politik serta kekurangan produksi ahan pangan (Millstone & Lang, 2008). Oleh karena itu, produksi pangan di kota-kota memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan nasional.
Urban farming dijadikan gaya hidup masyarakat terkait juga dengan manfaat dari segi ekonomi. Mereka bisa menjual produk sendiri dan juga untuk penggunaan pribadi, hal ini menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap pengeluaran untuk bahan pangan bagi penduduk yang melakukan kegiatan urban farming. Manfaat kesehatan yang didapatkan juga mengantarkan urban farming menjadi gaya hidup masyarakat perkotaan. Penduduk perkotaan pada umumnya peduli dengan kesehatan mereka terkait produk pangan yang mereka konsumsi. Seperti sistem penyimpanan bahan pangan, kandungan gizi, dan kesegaran  produk pangan (Feagan, 2007). Selain itu, risiko kesehatan manusia berhubungan dengan diet kekurang gizi (malnutrisi) atau kelebihan (obesitas) berkurang ketika individu memiliki akses dalam memproduksi bahan pangan mereka sendiri dan jumlah makanan yang diproses (Dixon et al., 2007).
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan urban farming menjadi marak dikarenakan sebagaian besar penduduk perkotaan sadar dan peduli akan kelangsungan hidup mereka di tengah-tengah populasi penduduk yang makin meningkat tiap tahunnya. Motivasi penduduk dalam terliat kegiatan urban farming tentunya beragam yakni menghadapi tantangan  lingkungan yaitu makin padatnya penduduk di perkotaan dan makin sempitnya lahan yang tersedia, menghadapi tantangan kesehatan terkait ketersediaan pangan, juga menghadapi tantangan ketahanan pangan.

REFERENSI:

Awasthi, Pranati
2013. Urban Agriculture in India and Its Challanges. Infrastructure Systems, CTRANS: International Journal of Environmental Science: Development and Monitoring

Brown, Katherine H.
2002. Urban Agriculture and Community Food Security in the United States: Farming from the City Center To the Urban Fringe. Urban Agriculture Committee: Community Food Security Coalition

Dixon, J., Omwega, A., Friel, S., Burns, C., Donati, K. & Carlisle, R.
2007. The health equity dimensions of urban food systems. Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 84(1), 118-129.

Feagan, R.
2007. The place of food: Mapping out the local‘ in local food systems. Progress in Human Geography, 31(1), 23-42.

Gaynor, A.
2006. Harvest of the suburbs: An environmental history of growing food in Australian cities. Perth, Australia: University of Western Australia Press.

Millstone, E. & Lang, T.
2008. The atlas of food: Who eats what, where and why. London: Earthscan.

Internet: