Minggu, 06 Juli 2014

Problematika Pengaturan Undang-Undang Mengenai Seksualitas Di Indonesia

Wacana seksualitas tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan dan pengetahuan, menurut Foucault ketiganya memiliki keterkaitan. Wacana tentang seksualitas mengalami tiga periode sejarah diantaranya (1) seks sebagai ars erotica, terkait adanya kontrol kekuasaan yang bekerja dengan tidak adanya konsentrasi pada satu kekuataan, tetapi pada masing-masing individu. Hal tersebut mengartikan bahwa masing-masing individu diberi kebebasan untuk memaknai seks, (2) peroide kedua kemudian dipengaruhi oleh masuknya faktor agama yaitu otoritas gereja. Kekuatan agama kemudian merebut pakem-pakem yang ada pada kehidupan seksual masyarakat. Seks dimaknai sebagai sesuatu yang tabu dan juga adanya batasan-batasan mengenai wacana seks terhadap apa yang tidak sesuai dengan kitab Injil, dan (3) periode terakhir adalah wacana seks tetap menyelimuti pembicaraan masyarakat karena adanya rasa ingin tahu atas kehidupan seksual yang meningkat akibat adanya pengekangan. Lahirlah ilmu yang mempelajari seksualitas, yakni scientia sexualis.
Tulisan ini akan memaparkan bagaimana seksualitas dibelenggu oleh aturan-aturan yang berasal dari negara maupun agama dan mengantarkan pada problematika dan dilematis pengaturan terhadap wacana seksualitas itu sendiri. Sebelum memasuki fokus utama tulisan ini yaitu mengenai problematika pengaturan udang-undang mengenai seksualitas di Indonesia, ada baiknya untuk menelusuri sejarah pengaturan seksualitas itu sendiri, bagaimana kekuasaan dan pengetahuan bermain dalam ranah seksualitas. Dalam pembahasan mengenai seksualitas dan kekuasaan, Foucoult memberikan kritik terhadap Freud pada konsep psikoanalisis bahwa terdapat fenomena histeria yaitu fenomena kelupaan yang besar, kelupaan akan diri sendiri merujuk pada fenomena hasrat seksualitas. Kedua, adanya pengetahuan yang berkelebihan, yaitu pengetahuan tentang seksualitas yang ekstensif dan intensif. Dua kritik ini kemudian mengantarkan kita pada fenomena bagaimana seksualitas kemudian dibelenggu dalam kekuasaan.
Menelusuri fenomena seksualitas di Barat, pada dasarnya masyarakat Barat tidak memiliki pengetahuan tentang seni yang erotis, masyarakat Timur justru lebih bebas dalam pengetahuannya mengenai seks. Lalu, pada gerakan zaman Romawi dan Yunani Kuno, seksualitas bersifat bebas, terjadi percampuran antaa agama dan seksualitas. Pada akhirnya, Kristen membelenggu isu-isu seksualitas menjadi tiga ciri yaitu (1) agama Kristen menetapkan monogami, (2) menyatakan reproduksi adalah fungsi utama ekslusif, yaitu hanya membuat anak, bukanlah masalah kenikmatan, dan (3) kenikmatan seksual adalah kejahatan. Paul Vein kemudian menambahkan bahwa tiga ciri tersebut sudah ada di Barat jauh sebelum agama Kristen masuk. Hal inilah yang kemudian dapat disimpulkan sebagai alasan mengapa masyarakat Barat tidak memiliki pengetahuan tentang seni yang erotis, yaitu karena adanya aturan-aturan yang membelenggu isu seksualitas itu sendiri.
Agama Kristen menetapkan mekanisme kekuasaan dengan  menanamkan nilai dan moral yang baru, diantaranya adalah (1) kepastoran sebagai sebuah kekuasaan, bukanlah kekuasaan dalam arti menguasai suatu wilayah, tetapi membuat kepatuhan pada masyarakat dan penyejahteraan umatnya, (2) kepastoran berperan dalam masyarakat Kristen sebagai pastor dan penggembala, dan (3) adanya kekuasaan yang khas dari kepastoran. Penanaman nilai dan moral tersebut diatasnamakan kekuasaan pastor karena terkait dengan keselamatan. Hal ini dikarenakan pastor dianggap sebagai pihak yang dapat menuntut dari pihak lain pada sebuah keputusan yang absolut. Pastor memiliki wewenang untuk umatnya ke jalan yang benar merujuk pada firman Tuhan. Lalu, kepastoran juga membawa keseluruhan rangkaian teknik dan prosedur yang terkait dengan kebenaran dan produksi kebenaran.
Kekuasaan atas seksualitas menurut Foucoult tampil di atas segalanya sebagai kekuatan yang mengekang, seperti mengekang kesenangan. Seksualitas terus menerus diungkap dan diteliti yang kemudian melahirkan jalinan pola beragam dari seksualitas dan kekuasaan. Contohnya adalah fenomena agama Katolik dan pengakuan (confession) yang mana seksualitas disubsidi oleh sumber-sumber kekuasaan yang beragam dan berpengaruh terhadap berbagai tindakan. Dalam confession terdapat pastor sebagai wakil Tuhan. Umat berkunjung pada pastor untuk menjelaskan dosa-dosanya, maka dapat dikatakan bahwa confession menjadi perantara dosa, tak jarang dosa yang diungkapkan berkaitan dengan masalah seksualitas seperti berhubungan seks sebelum menikah. Terjadilah penciptaan seksualitas yang mempengaruhi perkembangan politik anatomi tubuh seperti hubungan seks dalam pernikahan merupakan tanggung jawab dan pengaturan diri.
Dari penjabaran diatas, terlihat bahwa agama Kristen menancapkan kekuasaan antara masyarakat sipil dan asketisme yaitu terdapat ajaran rohani yang mengendalikan tubuh dan jiwa. Aturan-aturan tersebut merupakan pembentukan sebuah subjektivitas dari agama Kristen terhadap seksualitas. Jadi, agama Kristen berusaha membentuk sudut pandang tentang seksualitas lewat kekuasaan dan kontrol yang dilakukan. Sejarah seksualitas dalam masyarakat Barat kemudian menjelaskan bagaimana hubungan seks dan kekuasaan melewati peran agama yaitu agama Kristen.
Konsep seksualitas lama kelamaan dipenuhi oleh wacana Kristen yang menggambarkan bahwa terjadinya perubahan institusional dalam seksualitas. Seksualitas merupakan sebuah konstruksi sosial yang beroperasi dalam wilayah kekuasaan. Perempuan tidak mengerti tentang seksualitas karena pengetahuan tentang seksualitas hanya membicarakan seksualitas pada laki-laki. Pada era Victorian, hanya sedikit jurnal kesehatan dan publikasi semi resmi lainnya yang dapat diperoleh. Adanya penyensoran dan tidak tersedianya tulisan kesehatan mengenai perempuan membuat perempuan akhirnya tidak memiliki pengetahuan seks yang cukup dan ia menjaga situasi tersebut untuk menyikapi keinginan-keinginan laki-laki. Amber Hollibaugh kemudian menyuarakan kaum perempuan yang ingin mengungkapkan hasrat-hasrat yang masih belum diartikulasikan.
            Bagaimana kemudian negara melangsungkan kekuasaannya terhadap seksualitas bisa dilihat dari beberapa fenomena. Salah satunya adalah perubahan ikatan pernikahan. Pembentukan ikatan pernikahan pada sebagian besar penduduk menjadi dasar pertimbangan lain dari keputusan nilai ekonomis. Lalu, berkembang konsep mengenai cinta romantis yang ideal, inilah pertama kalinya perempuan dan seksualitas mempunyai arti lain daripada sekedar siklus kehamilan karena tidak hanya berbicara mengenai nilai ekonomi, tetapi ada sisi afeksi. Fenomena lainnya adalah penyusutan jumlah anggota keluarga yang didorong oleh alat kontrasepsi. Politik anatomi tubuh lainnya bisa dilihat dari kemunculan program keluarga berencana, praktik sunat, obat-obatan penambah nafsu, dan penambah stamina.
Tentunya refleksivitas institusional dan seksual ini tidak terjadi atau muncul begitu saja, adanya kuasa pengetahuan yang masuk ke dalam organisasi sosial salah satu penyebabnya. Saat berbicara mengenai kekuasaan, kita tidak bisa lepas dari pengetahuan karena pengetahuan lah yang dikembangkan untuk mengontrol tubuh (politik manajemen tubuh). Pengetahuan menyebabkan adanya kontrol dari negara seperti regulasi tentang perzinahan.
            Politik anatomi tubuh juga merambah pada kekuasaan yang mengatur hal-hal bersifat biologis atau dikenal sebagai biopower. Dalam biopower ini, kekuasaan dan pengetahuan selalu berjalan beriringan dan mempengaruhi satu sama lain dalam konteks masyarakat modern. Bagaimana dengan pengetahuan, manusia dapat mengembangkan mekanisme pengaturan kehidupan biologis.
Dikarenakan kekuasaan berasal dari wacana-wacana, maka kekuasaan tidak memiliki sumber tunggal, tetapi justru heterogen dan pluralistik yaitu datang dari mana saja dan berada di mana saja. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang diperoleh, dirampas, atau dibagi, yang digenggam atau dilepaskan. Kekuasaan terwujud dari berbagai arah yang tidak terhitung jumlahnya. Maka dari itu lahirlah kutipan ”power produces knowledge, power and knowledge directly imply one another.
Mengenai wacana wacana ilmiah tentang seksualitas (scientia sexualis) di Barat, mereka tidak memiliki seni erotik, tidak belajar bagaimana bercinta, bagaimana memberi kenikmatan pada orang lain atau pun mengabdikan dirinya untuk kenikmatan. Satu-satunya wacana seni erotik di Barat bersifat tertutup dan sepenuhnya pribadi, yaitu (1) orang berupaya untuk memiliki ilmu pengetahuan seksual, bukan tentang kenikmatannya, (2) sejak abad pertengahan sampai dengan abad 19, masyarakat Eropa dicegah untuk menginterogasikan seksualitas karena kuatnya moral borjuis dan moral Kristen, (3) salah satu cara utama memproduksi kebenaran adalah ritual confession (pengakuan dosa) dalam agama Kristen. Confession adalah alat analisis, refleksi dan deteksi dari apa yang terjadi dalam hidup setiap orang sebagai individu, (4) confession berperan dalam hukum, kesehatan, pendidikan, keluarga, hingga  hubungan cinta. Pengakuan bisa terjadi di ruang publik dan ruang pribadi, dan (5) confession adalah sebuah ritual wacana. Dari pemaparan diatas tergambarkan bagaimana moral Kristen begitu mengatur kehidupan masyarakat terkait seksualitas mereka.
Hubungan kekuasaan, pengetahuan dengan seksualitas bisa ditemukan dalam empat domain yang menghubungkannya, seperti yang diungkapkan oleh Foucoult:
o       the hysterization of women’s bodies, yang memandang tubuh perempuan highly sexual dan obyek dari pengetahuan medis. Tubuh perempuan sebagai pusat reproduksi juga menjadi masalah kepentingan publik dan kontrol publik
o       the pedagogization of children sex, yang melihat anak-anak sebagai sangat seksual dan seksualitas sebagai bahaya yang perlu dipantau dan dikontrol
o       the socialization of procreative behavior, yang melihat reproduksi dan seks sebagai kepentingan publik
o       the psychiatrization of perverse pleasure, yang itu mengkaji seks sebagai fenomena medis dan psikiatrik atau kejiwaan
Empat domain tersebut menggambarkan bahwa seksualitas adalah konstruksi sosial yang menyalurkan beragam relasi kuasa yang berbeda-beda. Lalu, pada akhir abad ke-10, terjadi kemunculan seksologi di mana Richard bon Krafft Ebing membuat empat  klasifikasi penyimpangan seksual yaitu sadisme, masokisme, fetisisme, dan homoseksualitas. Pengetahuan yang terus menerus berkembanglah yang kemudian melahirkan kekuasaan dengan membentuk aturan dan penetapan jenis penyimpangan terkait seksualitas.
            Di Indonesia, seksualitas sendiri menjadi sebuah wilayah yang menuai kontroversi (sexuality as a contested domain), terlihat dari adanya kepentingan negara dalam mengatur seksualitas.  Hal ini dipastikan karena adanya konstruksi sosial, realita yang kita ketahui sekarang adalah akibat dari konstruksi masyarakat. Misal persoalan gender, gender bukanlah merupakan sesuatu yang inheren, tetapi didapatkan dari interaksi yang terjadi di masyarakat dan pada akhirnya kita mendapatkan peran yang kita miliki sekarang.
            Kini, pengaturan undang-undang terkait seksualitas di Indonesia menurut saya penuh ketidakjelasan. Hal ini menurut saya terjadi karena seksualitas masih sering dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Kecurigaan saya hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas dianggap tabu karena ada pengaruh kolonialisme. Contohnya, terdapat penyebutan pada jenis kelamin merujuk pada bahasa Inggris dibanding bahasa lokal. Kenyataannya, pengaturan mengenai seksualitas tercermin sejak zaman pemerintahan Belanda saat kolonialisme di Indonesia melalui Undang-Undang seperti adanya buku panduan tentang perkawinan.
Pada dasarnya jika berbicara tentang pengaturan seksualitas, pasti terdapat tumpang tindih dari pandangan atau perspektif agama dan negara. Hal ini menjadikan salah satu akibat ketidakjelasan pengaturan seksualitas. Melalui tulisan ini, saya akan memberikan beberapa contoh regulasi mengenai seksualitas yang bisa ditemukan di kehidupan masyarakat Indonesia. Regulasi seksualitas di Indonesia berupaya untuk mengontrol konsensus tentang seksualitas. Salah satu regulasinya adalah upaya memutus homoseksual sebagai normatif gender, namun terus mengalami revisi. Hal ini menggambarkan bahwa negara benar-benar mengatur bagaimana hubungan heteroseksual yaitu dengan mengkriminalisasi dan menganggap perilaku-perilaku di luar heteroseksual sebagai hal yang kriminal. Bisa kita lihat dalam berita di media televisi, radio, cetak, maupun online, bagaimana perilaku homoseksual selalu dikatakan salah dan bersifat kriminal. Dalam hal ini, media mempunyai peran penting bagaimana menjadi saluran bagi negara untuk menyebarluaskan seksualitas itu sendiri (deployment of sexuality).
            Dalam jurnal ”To Cover the aurat: Veiling, Sexual Morality and Agency among the Muslim Minangkabau, Indonesia”, tergambarkan bagaimana pengaturan seksualitas terjadi melalui peran agama yakni agama Islam. Pemberlakuan peraturan jilbab di Sumatra Barat menjadi suatu hal yang wajib. Hal ini dikarenakan jilbab dalam masyarakayat Minangkabau dianggap sebagai busana Islami bagi perempuan, ekspresi kesalahean, dan bentuk pendisiplinan diri. Tentunya, fungsi utama jilbab dalam agama Islam adalah menutupi aurat. Dalam jurnal tersebut, dijelaskan juga bahwa jilbab menunjukan kemuliaan perempuan dan melindungi perempuan dari pelecehan seksual. Pernyataan ini menggambarkan bahwa domain hubungan kekuasaan dan seksualitas yang dikatakan oleh Foucoult yakni the hysterization of women’s bodies berlaku di Indonesia, khususnya di Sumatra Barat. Peraturan mewajibkan memakai jilbab agar terhindar dari pelecehan seksual merupakan pandangan terhadap tubuh perempuan yang highly sexual dan seolah-olah mengundang untuk terjadinya pelecehan seksual. Maka dari itu, kewajiban memakai jilbab diperlukan untuk alat kontrol publik.
Contoh lainnya adalah fenomena homoseksualitas di Indonesia. Secara konteksual, tidak terdapat hukum tentang homoseksual di Indonesia. Hukum pidana nasional tidak melarang hubungan homoseksual pribadi dan yang tidak bersifat komersial antara orang dewasa. Dilansir dari Indonesia Seeks to Imprison Gays (365Gay.com), sebuah RUU nasional untuk mengkriminalisasi homoseksualitas, bersama dengan hidup bersama, perzinahan dan praktek sihir, gagal diberlakukan pada tahun 2003 dan tidak ada rencana berikutnya untuk memperkenalkan kembali undang-undang tersebut. Kemudian pada tahun 2002, Pemerintah Indonesia memberi provinsi Aceh hak untuk menerapkan hukum syariah Islam yang dapat mengkriminalisasi homoseksualitas, meskipun hanya ditujukan untuk warga Muslim.
Hukum Indonesia tidak mengkriminalisasi homoseksualitas, jika dilakukan secara pribadi, non-komersial, dan di antara orang dewasa. Namun, hukum Indonesia tidak mengakui pernikahan gay, serikat sipil, atau manfaat kemitraan domestik. Pasangan sesama jenis tidak memenuhi syarat untuk mengadopsi anak di Indonesia. Hanya pasangan menikah yang terdiri dari suami dan istri yang boleh melakukan mengadopsi (sayapibujakarta.com). Dalam pengaturan undang-undang tersebut, terdapat problematika dan dilema seperti perjuangan hak-hak kaum LGBT. Jika undang-undang yang mengatakan bahwa perilaku homoseksual adalah bentuk kriminalisasi, beberapa pihak terutama kaum dan pendukung LGBT tentu akan menentangnya dan mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah sebuah diskriminasi merujuk pada setiap manusia memiliki hak untuk menentukan dan melakukan pilihan hidupnya. Maka dari itu, wacana mengenai perundang-undangan terkait LGBT belum tuntas seperti adanya revisi terus menerus dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan kegiatan mencoba untuk mengintervensi peraturan perundang-undangan tersebut.
Pengaturan terkait seksualitas juga tergambarkan dari adanya undang-undang yang mengatur hukum perkawinan di Indonesia seperti yang diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mulai 2 Januari 1974. Undang-undang tersebut dibuat dengan mempertimbangkan bahwa falsafah Negara Republik Indonesia adalah Pancasila, maka perlu dibuat undang-undang perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 Bab dan terbagi dalam 67 pasal.
Selain itu juga terdapat pengaturan perkawinan dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia. Kompilasi hukum di Indonesia tersebut adalah ‘Buku Kumpulan-kumpulan Hukum Islam’. Usaha untuk mengadakan kompilasi hukum Islam telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan penyebarannya berdasarkan Intruksi Pemerintah RI No. 1 tahun 1991 dan ditindaklanjuti dengan keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991.
Kompilasi hukum Islam di Indonesia diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan peradilan agama, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum  yang menghasilkan buku tentang perkawinan. Dipaparkan pada pasal 1 ayat 1 pada UU tentang Perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hal ini menggambarkan secara tidak langsung bahwa perkawinan yang dibolehkan di Indonesia adalah antara laki-laki dan perempuan atau heteroseksual.
            Pengaturan dalam membatasi kelahiran pun diatur oleh negara melalui program Keluarga Berencana (KB). Keluarga Berencana adalah gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran. Pembatasan dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran seperti kondom, spiral, dan IUD. Dalam pengaturan ini, dianjurkan jumlah anak dalam sebuah keluarga yang dianggap ideal adalah dua. Landasan hukum yang mengatur KB ini diantaranya adalah Undang-undang No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Peraturan pemerintah no. 21 tahun 1994 tentang penyelenggaraan Pembangunan keluarga Sejahtera, dan Peraturan pemerintah no 27 tahun tahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan.
Peraturan terkait seksualitas lainnya yang belum tercantumkan dalam undang-undang namun telah disosialisikan adalah penggunaan alat kontrasepsi dalam melakukan hubungan seks. Salah satunya adalah Pekan Kondom Nasional, yaitu kegiatan sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya menggunakan kondom dalam hubungan seks. Kampanye kondom ini dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran kesehatan reproduksi untuk remaja karena data lapangan menunjukan sebanyak 2,3 juta remaja melakukan aborsi setiap tahunnya. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Drs. Nafsiah Mbio, menghimbau agar kondom disosialisaksikan guna menekan angka aborsi dan kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, Pekan Kondom Nasional ini sendiri memunculkan problematika yaitu berupa kontroversial bahwa beberapa pihak menanggapi kekhawatiran bahwa pemberian kondom kepada remaja dapat memicu seks bebas. Kontroversi juga datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena MUI menganggap bahwa kondom hanya boleh digunakan pasangan suami istri sebagai alat kontrasepsi atau alat pencegah kehamilan, karena memang sudah menjadi program pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.  
Keinginan Menteri Kesehatan mengkampanyekan kondom adalah untuk mencegah tingginya angka aborsi dan juga mencegah penularan HIV/AIDS di kalangan remaja. Hal ini menimbulkan problematika tersendiri karena sebagian besar masyarakat mempunyai pegangan agama dan kebudayaan yang tentunya melarang akan hubungan seks bebas. Peraturan menggunakan kondom pada remaja ini merupakan domain Foucoult terhadap hubungan kekuasaan dan seksualitas yaitu the pedagogization of children sex. Peraturan pemakaian kondom ini dinilai penting dalam rangka pandangan anak-anak dan remaja dinilai sangat seksual dan seksualitas sebagai bahaya yang perlu dipantau dan dikontrol. Selain itu juga termasuk dalam domain the psychiatrization of perverse pleasure, karena peraturan ini dibuat merujuk pada fenomena medis dan psikiatri, yaitu menghindari terkena HIV/AIDS dan kegiatan aborsi.
Ketidakjelasan pengaturan perundang-undangan lainnya yang kini tengah hangat menjadi bahan perbincangan adalah undang-undang mengenai pedofilia yang akan dimasukan ke dalam homoseksualitas. Hal ini dikarenakan baru-baru ini tengah terjadi fenomena pedofilia yang cukup mencengangkan karena terjadi di salah satu sekolah dasar di kawasan Jakarta Selatan. Sebelumnya, undang-undang mengenai pelecehan seksual pada anak telah diatur pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang ancaman jukuman bagi pelaku pelecehan seksual tehadap anak di bawah umur. Namun, kini terjadi wacana dimana akan dibuat perundang-undangan baru terkait pedofilia yang digabungkan dalam konteks homoseksual. Padahal, pedofilia dan homoseksualitas tidak ada hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contoh pengaturan perundang-undangan terkait seksualitas di Indonesia yang telah saya jabarkan diatas, tergambarkan bahwa wacana seksualitas memang berkaitan erat dengan kekuasaan di mana negara dan agama berperan penting dalam mengaturnya. Namun dibalik pengaturan tersebut, masih banyak terdapat problematika dan dilematis sendiri karena adanya anggapan seksualitas adalah hal yang tabu dan juga permasalahan perjuangan hak yang bersifat paradoksal seperti pengaturan homoseksualitas adalah hal kriminal dan juga homoseksualitas adalah hak pilihan hidup seseorang.


REFERENSI:

Foucault, M.
2003. Seksualitas dan kekuasaan, dalam Desantara no.8, hal. 46-57.

Giddens, A.
2004. Transformation of Intimacy. Bab 2 ‘Seksualitas Menurut Foucault’. J      akarta: Fresh Book. Hal. 23-49.

Internet:

Parker, L.
2008. ‘To Cover the aurat: Veiling, Sexual Morality and Agency among the Muslim Minangkabau, Indonesia’, Intersections issue 16, http://intersections.anu.edu.au/issue16/parker.htm

Artikel Indonesia Seeks to Imprison Gays di 365Gay.com, 30 September 2003 diakses pada Jumat, 6 Juni 2014 pukul 14:10 WIB
Artikel Proses Pengangkatan Anak diakses di http://www.sayapibujakarta.org/ind/adopsi.html pada Jumat, 6 Juni pukul 14:50 WIB

Artikel Kontroversi Pekan Kondom Nasional dan Seks Bebas diakses di http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/12/13/mxoz43-kontroversi-pekan-kondom-nasional-dan-seks-bebas pada Jumat, 6 Juni pukul 15:33 WIB

Artikel Landasan Hukum Keluarga Berencana diakses di http://www.bkkbn.go.id/ViewProfil.aspx?ProfilID=3 pada Jumat, 6 Juni pukul 15:50 WIB

Artikel UU Perkawinan diakses di http://www.lbh-apik.or.id/uu-perk.htm pada Jumat 6 Juni pukul 16:30 WIB


Maraknya Kegiatan Urban Farming Akibat Bertambahnya Kepadatan Penduduk Di Perkotaan

Penduduk yang tinggal di perkotaan makin bertambah seiring berjalannya waktu. Tak hanya di kota-kota besar di Indonesia, fenomena ini juga terjadi di kota-kota di seluruh dunia. Di negara berkembang, khususnya, kepadatan penduduk ini menimbulkan banyak dampak seperti kemiskininan, kurangnya lahan pekerjaan, terjadinya ledakan urbanisasi, hingga permasalahan ketersedian pasokan pangan. Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, muncul salah satu tipe baru pertanian yang multi-fungsi untuk masyarakat kota dalam hal sosial maupun ekonomi yaitu pertanian perkotaan atau yang lebih dikenal dengan nama urban farming.
Kegiatan urban farming di kota-kota besar di seluruh dunia makin marak digalakkan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana pengetahuan masyarakat mengenai jumlah dan distribusi penduduk yang mengantarkan mereka untuk berpikir dalam menilai ulang bagaimana pola konsumsi dan gaya hidup, salah satunya dengan urban farming. Dikarenakan masyarakat melihat bagaimana komposisi penduduk yang semakin tahun semakin bertambah kepadatannya, makin terlihat pula permasalahan yang ada dibaliknya. Permasalahan tersebut diantaranya adalah ketersediaan pasokan pangan.
Makin berkurangnya lahan karena kepadatan penduduk menyebabkan harga pangan makin melambung. Masyarakat pun harus mencari cara membuka lahan baru pertanian. Selain itu, produk pertanian sangat bergantung pada alam, cuaca, dan proses pengerjaannya. Ketika cuaca tidak menentu, petani harus mengalami kerugian dan gagal panen yang mengantarkan produk pertanian tertentu langka dan harganya mahal. Belum lagi maraknya penggunaan pestisida yang menyebabkan sayur mayur dan buah-buahan mengandung racun juga tingkat kesegaran pasokan pangan tersebut. Maka dari itu, banyak masyarakat yang memanfaatkan lahan mereka di perkotaan untuk menghasilkan produk pertanian seperti sayuran dan buah-buahan. Lahannya meliputi ruang sempit sekitar teras rumah hingga atap bangunan. Hal tersebutlah yang membuat urban farming menjelma menjadi gaya hidup orang-orang perkotaan karena mereka cenderung ingin hidup lebih normal, sehat, dan mendapatkan pangan yang bergizi, sehat, harganya terjangkau dan bebas dari pestisida.
Urban farming kemudian menjadi satu kegiatan yang dilakukan masyarakat perkotaan terkait resiko yang mereka hadapi yakni permasalahan ketersediaan bahan pangan dan lingkungan hidup. Diharapkan urban farming dapat menjadikan sumber makanan bagi penduduk perkotaan, baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk diperjualbelikan. Pentingnya urban farming adalah kegiatan ini memasok pangan yang segar dan aman, hal ini dikarenakan masyarakat perkotaan sendiri yang menanam dan merawat tanaman tersebut. Berbeda dengan halnya jika mereka membeli pangan seperti sayur mayur di pasar yang mana sering mendapatkan kondisinya sudah tidak segar dan tidak aman karena menggunakan pestisida.
Urban farming merupakan salah satu konsep pertanian yang dapat dijalankan di perkotaan karena dengan urban farming diharapkan setiap penduduk kota dapat memaksimalkan lahan yang sempit untuk kegiatan pertanian yang dialakukan secara intensif dengan teknologi yang memungkinkan hasil yang tinggi pada lahan terbatas. Urban farming juga  diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dengan keuangan yang dapat dijangkau, lalu juga dapat mengurangi pencemaran udara, terutama gas CO2 yang akan diserap oleh tanaman.
Dilansir dari enciety.com, urban farming adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan yang melibatkan ketrampilan, keahlian dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan tanaman dan pangan. Hal utama yang menyebabkan munculnya aktivitas ini adalah upaya memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, menambah penghasilan masyarakat sekitar juga sebagai sarana rekreasi dan hobi (2011).
Dalam jurnal “Urban Agriculture In India and Its Challange” dipaparkan bahwa urban farming kini menjadi kegiatan yang marak bagi masyarakat India terutama di kota Delhi dan Mumbai.  Menurut sensus penduduk tahun 2011, jumlah penduduk India bertambah dengan jumlah 1,21 miliar jiwa selama 10 tahun terakhir, peningkatannya sebesar 181 juta jiwa. Hal ini dikarenakan urbanisasi berlangsung di tingkat yang lebih cepat di India. Penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di India, menurut sensus penduduk 1901, adalah 11,4%. Kemudian, meningkat menjadi 28,53% menurut sensus penduduk tahun 2001, dan melintasi 30% per sensus penduduk 2011 menjadi 31,16%.
Pada negara berkembang seperti India, tentunya pertambahan penduduk yang semakin padat ini menyebabkan sumber daya menjadi langka dan terbatas. Dampak  dari ledakan populasi dalam kekurangan sumber daya yang paling dasar adalah ketersedian pasokan pangan. Menurut sebuah artikel oleh World Bank, "Lebih dari setengah dari semua anak-anak di bawah usia empat tahun mengalami kekurangan gizi, 30% dari bayi yang baru lahir secara signifikan berbadan kurus, dan 60% wanita mengalami anemia." Peningkatan populasi masih menjadi masalah serius di India, hal ini diyakinkan dengan fakta bahwa India menghabiskan sekitar 10 milyar dollar setiap tahun pada malnutrisi (World Bank Group), dan bahkan kemudian pemerintah India tidak dapat menyediakan kebutuhan gizi sehari-hari untuk semua penduduk di India. Fenomena ini kemudian mengantarkan India harus menghadapi permasalahan krisis harga pangan.
Krisis harga pangan dunia baru-baru ini telah memberikan pentingnya memahami dan menghadapi penyebab ketahanan pangan masyarakat perkotaan. Permasalahan kemudian datang bagi masyarakat perkotaan karena mereka menjadi kelompok pembeli bahan pangan yang tergantung pada harga dan pada persediaan pasar. Masyarakat perkotaan kemudian dapat menjadi kelompok masyarakat yang mengalami harga pangan yang lebih tinggi. Urban farming merupakan salah satu solusi yang dirasakan secara global untuk memenuhi permintaan pangan penduduk perkotaan. Ada sejumlah cara di mana urban farming pada prinsipnya dapat berdampak pada ketahanan pangan perkotaan. Di tingkat rumah tangga, urban farming dapat menjadi sumber penghasilan, dapat memberikan akses langsung ke sejumlah besar pangan yang sehat dan aman juga pangan yang lebih bervariasi, dapat meningkatkan stabilitas konsumsi pangan rumah tangga terhadap masa musiman atau kekurangan.
Sama halnya dengan di India, penduduk Amerika juga mulai menggalakan kegiatan urban farming menjadi bagian dari hidup mereka. Dilansir dari jurnal ”Urban Agriculture and Community Food Security in the United States: Farming from the City Center to the Urban Fringe”, Pada abad ke-21, urbanisasi meningkat di seluruh dunia terutama di Amerika Serikat sebanyak 80% penduduk tinggal di kota. Hal ini berbeda dengan 100 tahun yang lalu ketika 50% penduduk Amerika hidup di pedesaan. Sebagai penduduk perkotaan yang terus mengalami perkembangan, terjadi kompleksitas mengenai bagaimana mendapatkan pasokan pangan atau dengan kata lain terjadinya ketahanan pangan (food security) di Amerika.  Urban farming adalah salah satu kegiatan yang menjadi solusi dari masalah ini dengan cara yang inovatif. Pengelolaan lingkungan ditingkatkan melalui upaya urban farming. Pembangunan ekonomi dan revitalisasi masyarakat juga dicapai melalui urban farming ketika penduduk perkotaan mendapatkan kemampuan untuk menghasilkan dan mengelola pasokan pangan sendiri. Kesehatan individu, pemberdayaan, dan kesejahteraan dibuat ketika penduduk kota memiliki akses menuju kontrol yang lebih besar mengenai sistem pangan mereka sendiri.
Mengenai ketahanan pangan di Amerika, hal ini terjadi karena banyak penduduk Amerika mengalami kelaparan. Seperti yang dikemukakan oleh USDA, sebanyak 31 juta jiwa mengalami rawan pangan pada tahun 1999 dan 12 juta jiwa diantaranya adalah anak-anak. Kemiskinan adalah sumber akar dari terjadinya ketahanan pangan. Pada tahun 2001, lebih dari 31 juta jiwa (11,3% dari populasi) hidup di bawah angka garis kemiskinan. Setiap tahun dalam dekade terakhir semakin banyak keluarga di Amerika melaporkan bahwa mereka kehabisan makanan dan tidak punya uang untuk membeli makanan yang lebih banyak.
Ketahanan pangan tentunya mempengaruhi kualitas hidup penduduk perkotaan dalam beraktivitas sehari-hari. Kelaparan dan gizi buruk juga terkait dengan peningkatan penyakit menular, faktor risiko penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan gagal jantung. Bahkan ketika pendapatan penduduk perkotaan tercukupi, bahan pangan tidak selalu begitu mudah diakses. Banyak supermarket yang ditutup atau dipindahkan dari kota karena daya saing pasar yang kompleks terkait dengan pemiskinan. Lalu, toko kelontong yang tersisa di perkotaan biasanya cenderung menaikkan harga, bahkan pada makanan pokok.
Jadi, ironisnya, orang-orang yang berpenghasilan terbatas di perkotaan cenderung mengeluarkan lebih banyak uang untuk pasokan pangan mereka. Kisaran, kesegaran, dan kualitas makanan juga sering dikompromikan dalam bahan pangan dalam kota, dengan demikian semakin membatasi pilihan maksimal pelanggan untuk makanan bergizi dengan harga terjangkau. Program urban farming dapat membangun ketahanan pangan masyarakat dengan meningkatkan kuantitas, kualitas, keteraturan dan keseimbangan gizi terhadap pasokan makanan, sehingga dapat mengatasi permasalahan tersedianya bahan pangan yang sehat dan bergizi, berkaitan dengan kesehatan mereka.
Urban farming memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan karena penduduk perkotaan mengurangi ketahanan pangan mereka sendiri dan mereka bisa memperjualbelikannya pada penduduk lain.  Sayuran segar dan buah yang diproduksi dari urban farming memiliki dua kali vitamin dan mikro-nutrisi penting yang tersedia dari produk supermarket dengan harga yang sama. Pangan yang diperoleh dari urban farming juga dibuktikan lebih aman dan dibandingkan dengan produk pertanian industri yang biasanya membutuhkan perjalanan jarak jauh demi mencapai pasar di perkotaan. Urban farming menghasilkan berbagai produk yang baik dan cocok untuk kebutuhan pangan dan tuntutan populasi perkotaan yang beragam, sehingga meyakinkan mereka pada program diet yang lebih seimbang. Selain itu, urban farming melestarikan sumber daya alam dan memberikan kontribusi untuk lingkungan hidup yang sehat.
Salah satu kota yang sudah menggalakan kegiatan urban farming di Indonesia adalah Surabaya. Dilansir dari laman SWA Online, walikota Surabaya yakni Tri Rismahari mengatakan bahwa ia menggalakan kegiatan urban farming pada masyarakat Surabaya. Dikatakan bahwa penduduk Surabaya kini berjumlah sekitar 3 juta dengan luas wilayah 330 km pesegi. Tri Rismahari berupaya menjadikan Kota Surabaya sebagai eco-city dan mengajak masyarakat Surabaya untuk mengerti dan mencintai lingkungan.
Kegiatan urban farmingSurabayauntuk menyeimbangkan ketersedian pangan yang sehat juga dilakukan untuk membantu perekonomian warga Surabaya. Contohnya seperti kampung budidaya padi dan lombok di Kelurahan Bangkingan dan Kelurahan Made. Setiap hari, cabe dari dua kelurahan tersebut dikirim ke Tangerang dan Palembang sebanyak 40 ton.
            Maraknya kegiatan urban farming khususnya di Indonesia juga ditandai dengan lahirnya suatu komunitas bernama Indonesia Berkebun yang kini memiliki ribuan anggota dari berbagai kota-kota besar di Indonesia. Indonesia Berkebun adalah suatu gerakan atau komunitas yang mendukung penanaman pangan di perkotaan atau dengan kata lain melakukan pertanian di perkotaan seperti di teras dan atap rumah. Penulis berkesempatan mewawancarai Sigit Kusumawijaya selaku salah satu inisiator Indonesia Berkebun pada tahun 2012 lalu. Dipaparkan oleh Sigit bahwa Indonesia Berkebun memiliki konsep yang berbasis pada 3E yaitu ekologi, edukasi, dan ekonomi.
Secara ekologi, Indonesia Berkebun ingin mengembalikan lahan yang tidak terpakai di daerah perkotaan. Kemudian, konsep edukasi dibawa oleh Indonesia Berkebun karena adanya keinginan untuk mengedukasi masyarakat agar masyarakat memilki ketahanan pangan. Jika harga pangan naik karena impor, masyarakat yang berkebun akan lebih gampang mendapatkan tanaman yang ditanam dengan tidak mengeluarkan biaya yang lebih besar. Masyarakat mulai menanam tanaman yang produktif dan dapat dikonsumsi seperti bayam, sawi, tomat, dan cabai di rumah masing-masing (home farming). Jika masyarakat dapat menerapkan kegiatan ini diharapkan saat harga bahan pangan naik, mereka tidak akan kena dampak karena bisa memetik di rumah.
Edukasi juga dilakukan agar masyarakat memiliki pola hidup yang lebih sehat, dalam arti menanam sayuran yang organik. Masyarakat menanam sendiri, maka dari itu mereka mengetahui prosesnya. Jika membeli bahan pangan di supermarket atau di pasa, mereka tidak tahu apakah sayuran atau buah yang mereka beli organik dan juga pastinya lebih mahal jika membeli di supermarket. Jika menanam sendiri, masyarakat mengetahui prosesnya, meskipun ada yang berlubang-lubang, tetapi sehat dan tidak memakai pestisida. Dari sisi ekonomi, hasil dari kebun tersebut bisa mereka jual dan menjadikannya sebagai pendapatan mereka sendiri.
            Gaynor (2006) menyatakan bahwa motivasi yang dialami penduduk untuk melakukan kegiatan urban farming bervariasi dan tergantung pada pergesaran konteks lingkungan, ekonomi, dan budaya. Seperti pada penduduk perkotaan di Australia mereka melakukan kegiatan urban farming dan menghasilkan produk pangan yang segar, sehat, dan berbeda dari produk pangan komersial. Motivasi mereka adalah memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan penduduk perkotaan lainnya, terkait koenteks ekonomi dan budaya karena mereka berhasil melangsungkan kehidupan mereka dengan memanfaatkan alamnya sendiri yang juga mengantarkan mereka memenuhi kebutuhan perekonomian.
            Merujuk pada populasi yang terus meningkat dan ketersediaan pangan yang makin menipis, terdapat manfaat sosial dari urban farming terkait ketahanan pangan yang mengantarkan kegiatan ini menjadi gaya hirup masyarakat perkotaan. Beberapa negara maju, terutama yang sangat bergantung pada impor pangan, sangat rentan terhadap kekurangan pangan yang mungkin dipicu oleh ketidakstabilan ekonomi atau politik serta kekurangan produksi ahan pangan (Millstone & Lang, 2008). Oleh karena itu, produksi pangan di kota-kota memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan nasional.
Urban farming dijadikan gaya hidup masyarakat terkait juga dengan manfaat dari segi ekonomi. Mereka bisa menjual produk sendiri dan juga untuk penggunaan pribadi, hal ini menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap pengeluaran untuk bahan pangan bagi penduduk yang melakukan kegiatan urban farming. Manfaat kesehatan yang didapatkan juga mengantarkan urban farming menjadi gaya hidup masyarakat perkotaan. Penduduk perkotaan pada umumnya peduli dengan kesehatan mereka terkait produk pangan yang mereka konsumsi. Seperti sistem penyimpanan bahan pangan, kandungan gizi, dan kesegaran  produk pangan (Feagan, 2007). Selain itu, risiko kesehatan manusia berhubungan dengan diet kekurang gizi (malnutrisi) atau kelebihan (obesitas) berkurang ketika individu memiliki akses dalam memproduksi bahan pangan mereka sendiri dan jumlah makanan yang diproses (Dixon et al., 2007).
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan urban farming menjadi marak dikarenakan sebagaian besar penduduk perkotaan sadar dan peduli akan kelangsungan hidup mereka di tengah-tengah populasi penduduk yang makin meningkat tiap tahunnya. Motivasi penduduk dalam terliat kegiatan urban farming tentunya beragam yakni menghadapi tantangan  lingkungan yaitu makin padatnya penduduk di perkotaan dan makin sempitnya lahan yang tersedia, menghadapi tantangan kesehatan terkait ketersediaan pangan, juga menghadapi tantangan ketahanan pangan.

REFERENSI:

Awasthi, Pranati
2013. Urban Agriculture in India and Its Challanges. Infrastructure Systems, CTRANS: International Journal of Environmental Science: Development and Monitoring

Brown, Katherine H.
2002. Urban Agriculture and Community Food Security in the United States: Farming from the City Center To the Urban Fringe. Urban Agriculture Committee: Community Food Security Coalition

Dixon, J., Omwega, A., Friel, S., Burns, C., Donati, K. & Carlisle, R.
2007. The health equity dimensions of urban food systems. Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 84(1), 118-129.

Feagan, R.
2007. The place of food: Mapping out the local‘ in local food systems. Progress in Human Geography, 31(1), 23-42.

Gaynor, A.
2006. Harvest of the suburbs: An environmental history of growing food in Australian cities. Perth, Australia: University of Western Australia Press.

Millstone, E. & Lang, T.
2008. The atlas of food: Who eats what, where and why. London: Earthscan.

Internet:


Sabtu, 10 Mei 2014

Gerakan Metal Satu Jari: Agama Sebagai Produk Globalisasi dan Fenomena Perang Ideologi Melawan Westernisasi

Tak bisa dipungkiri lagi dalam masa kini batasan-batasan antar negara makin kabur atau bisa dikatakan menghilang. Hal ini disebabkan adanya seperangkat proses yang menciptakan kondisi di mana setiap pojok bumi menjadi terhubung atau dengan kata lain terciptanya interkoneksitas. Seperti apa yang dikatakan oleh Malcom Waters dalam bukunya yaitu Globalization (London: Routledge,. 1995), ia mengatakan bahwa globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang.
Berbicara mengenai globalisasi, pastinya tak lepas dari pembicaraan dampak yang diakibatkan oleh proses ini. Mengkategorikan dampak positif maupun negatif dan membandingkan hal mana yang lebih berpengaruh adalah sebuah perspektif awam. Hal ini dikarenakan globalisasi adalah sebuah konstruksi di mana terdapat friksi-friksi yang menyebabkan resistensi dan kemudian muncul sekelompok masyarakat yang merasa terancam, yang mengakibatkan munculnya gerakan militan seperti militan agama.
Sejarah tak luput dari pembahasan mengenai globalisasi karena sejarah juga terkoneksi dengan dunia global atau menyebabkan jalinan interkoneksitas dan tidak bisa terpisahkan dari sejarah manusia. Dalam hal ini, relevansi bagi antropologi mencakup transformasi tatanan politik dan ekonomi  yang mengakibatkan transformasi sosial juga transformasi budaya.
Sejarah proses akumulasi global yang dimulai sejak imperialisme Barat pada abad ke-15 telah membawa ketimpangan relasi kekuasaan maupun penumpukan kekayaan secara tidak seimbang dalam skala global. Namun, banyak perspektif mengenai globalisasi yang sarat akan pada isu-isu ekonomi di mana isu-isu yang lain seperti dikesampingkan atau tidak berpengaruh kuat terhadap proses globalisasi ini. Globalisasi tidak hanya merupakan isu-isu ekonomi saja, tetapi juga bersinggungan dengan berbagai macam isu, salah satunya adalah isu agama. Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan sebuah fenomena yang berkaitan dengan isu agama dan isu seni musik yaitu mengenai kemunculan dan eksistensi dari One Finger Movement atau Gerakan Metal Satu Jari dalam komunitas Salam Satu Jari di Indonesia.

Agama Sebagai Produk Globalisasi

      Tulisan ini akan memaparkan mengenai fenomena agama Islam di tengah hingar-bingarnya proses globalisasi. Tak jarang, globalisasi dianggap sebagai hal yang negatif karena sarat akan ekspansi dari negara-negara adikuasa seperti kapitalisme yang merajalela. Fenomena kapitalisme menggambarkan bagaimana negara-negara tersebut mampu mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara Dunia Ketiga tidak mampu bersaing dengan digempurnya berbagai macam kegiatan yang mengarah ke kapitalisme. Tak hanya itu, globalisasi juga mempengaruhi dimensi budaya karena adanya perkembangan interaksi melalui media massa seperti dari televisi, musik, dan film. Sajian hiburan tersebut tentunya akan dikonsumsi oleh seluruh dunia yang akan memberikan perspektif baru terhadap diri kita.
Agama juga merupakan produk dari globalisasi di mana ada suatu keteraturan umum yang dibangun dalam lingkup tersebut dan adanya pemahaman kita mengenai dunia. Dalam dimensi agama, Clifford Geertz mengatakan bahwa dalam suatu religi atau agama terdapat konsep moods and motivation lalu ada kegiatan ritual, simbol, dan emosi yang merupakan karakter dari definisi agama. Pondasi dasar dari agama adalah untuk memahami dunia, maka dari itu globalisasi memiliki relasi yang kuat dalam lingkup agama.
Dalam subjek modern, agama dipahami sebagai sebuah istilah untuk mendefinisikan suatu gejala umum yang terjadi pasca abad pencerahan di Eropa. Orang-orang Eropa tentunya melakukan kontak pertama dengan wilayah koloni, di mana harus memahami konteks masyarakat yang berbeda seperti mereka memiliki agama dan aktifitas ekonomi yang berbeda. Adanya kebudayaan atau peradaban tertentu ditengah kebudayaan yang dijumpai. Dalam hal ini, adanya kegiatan mengkategorisasikan the others yang merupakan konstruksi orang Eropa terhadap yang ”lain”. Eropa memposisikan diri mereka menjaci yang paling utama, yang paling maju, dan paling beradab di mana sarat akan konsep modern.
Merujuk pada kategoriasi terhadap ”yang lain” atau the others, hal ini membuktikan bahwa adanya cara melihat dunia atau cara melihat yang lain dalam kategoriasi terhadap orang yang berbeda dengan diri kita. Islam kemudian menjadi salah satu contoh yang menjadikan adanya subjek modern. Terbentuknya konsepsi ini bersamaan dengan kekuasaan dan ekspansi karena harus mengontrol, harus mendefinisi, dan harus melihat permasalahan. Contohnya adalah ketika koloni datang, masih ada orang-orang yang percaya terhadap aliran animisme. Dari ekspansi tersebut adanya kegiatan mengkategorikan. Secara moral, orang-orang tradisional tersebut salah atau dianggap orang sesat, maka dari itu mereka harus dimasukkan ke dalam peradaban modern. Konsepsi ini menggunakan idiom yang berangkat dari agama Islam dan Kristen yang memiliki ciri untuk memahami ”manusia yang lain” sebagai suatu objek yang dicerahkan.

Modernitas sebagai moral order

Dahulu kafir ----------------------------à sekarang beragama
                                                          ’moral time’

Bagi orang Eropa, animisme adalah masa di mana adalah ”masa mereka di masa lalu”. Istilah kolonialisme dan gospel selalu berhubungan karena adanya justifikasi moral dan religi yang digunakan untuk melihat dan membuat, yang dilakukan oleh koloni menjadi legitimate, dalam konteks kolonialisasi. Dalam konteks Islam pun juga mengalami hal yang serupa.
Di lingkup kajian agama dan negara, suatu agama dikatakan adalah agama jika memiliki Tuhan, kitab suci, dan umat.  Agama juga memainkan peranan penting dalam narasi pembangunan. Agama menjadi penting karena mereka harus ikut dalam narasi pembangunan. Menjadi beragama adalah menjadi modern dan menjadi maju, inilah yang disebut program pembinaan agama. Di Indonesia, pada masa orde baru, agama menjadi penting sebagai identitas yang disajikan dalam Kartu Tanda Penduduk sebagai konteks administratif. Negara juga mendisiplinkan yang tidak terima terhadap agama modern. Kini, kebangkitan adat atau aliran kepercayaan menjadi respons agama modern karena agama dicirikan sebagai identitas modern.
Seperti yang telah dipaparkan di atas mengenai globalisasi mengakibatkan munculnya gerakan militan seperti militan agama karena terdapat friksi-friksi yang menyebabkan resistensi dan kemudian muncul sekelompok masyarakat yang merasa terancam. Gerakan militan Islam dapat dilihat dari beberapa aspek seperti teologi, politik, budaya, dan pendidikan. Dalam aspek teologis,  ajaran Islam sangat resisten terhadap perbedaan pandangan tentang sekularisasi. Dalam fenomena modern dianggap bahwa sekularisasi hanya akan menghilangkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Agama dan sekularisasi sering diposisikan sebagai dua entitas yang berlawanan.
Tak jarang juga diamati dari berbagai literatur maupun media massa, globalisasi dianggap sebagai kelanjutan dominasi dan hegemoni Barat dari sisi intelektual Muslim. Dikutip dari tulisan Respon Umat Islam Terhadap Globalisasi dari Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Surabaya, dikatakan bahwa Amerika memanfaatkan globalisasi untuk meruntuhkan norma-norma politik, ekonomi, dan budaya yang eksis di negara-negara non Barat. Dalam konteks ini, Amerika juga menggunakan yayasan-yayasan budaya dan ideologi globalisasi yang mana bertujuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan imperialismenya tanpa menyebabkan reaksi-reaksi revolusioner, seperti yang pernah dilakukan oleh imperialisme Barat pada masa lalu. Fine power merupakan istilah yang sangat tepat untuk menggambarkan pemanfaatan yayasan-yayasan milik Amerika tersebut.
Dalam bukunya Mark Levine yaitu Heavy Metal Islam (2008), ia mengatakan bahwa pengalaman umat Islam terkait globalisasi dimaknai sebagai sebuah ‘a post-modern culturalism yang erat dengan kulturalisasi politik dan ekonomi, sebagai momen yang menegaskan terjadinya globalisasi kontemporer. Dalam menghadapi diskursus semacam ini, intelektual Muslim meminta apa yang dinamakan ”hak untuk berbeda” secara kultural yang merujuk pada istilah the others yang sudah dipaparkan sebelumnya.
Penolakan umat Islam tehadap globalisasi lebih diasosiasikan dengan westernisasi, yang mana merekonstruksi nilai-nilai non Barat dan oleh para intelektual Muslim, globalisasi dianggap sebagai ghazwul fikri yaitu perang pemikiran). Westernisasi merupakan adanya proses pengadopsian budaya Barat dalam bidang industri, teknologi, hukum, politik, ekonomi, gaya hidup, abjad, agama, filsafat, serta nilai-nilai.

Kemunculan Gerakan ”Salam Satu Jari” Dalam Memerangi Ideologi Barat Melalui Musik Metal

To whom it may concern, which testify to Syahadat. Israel had declared a war by throwing words.  Let’s fight in the name of Allah, jihad fi sabilillah. (Bagi siapa pun yang merasa telah bersaksi dan menyebut Syahadat. Israel telah menyatakan perang dengan menggunakan kata-kata atau ideologi, mari berperang dengan atas nama Allah. Mari berjihad di jalan Allah)
[Jihad – Tengkorak]
               
Salah satu bentuk gerakan yang muncul akibat fenomena globalisasi terutama peperangan melawan westernisasi dalam lingkup agama yaitu agama Islam adalah kehadiran Gerakan Metal Satu Jari atau One Finger Movement. Di Indonesia, gerakan ini menamakan diri mereka Salam Satu Jari yang mana anggotanya adalah personil band underground juga penikmat musik underground yang mencoba melawan westernisasi di mana dianggap tidak sesuai dengan akidah Islam dan budaya di Indonesia.  Komunitas ini lahir dari sebuah acara bertajuk Garage Festival, sebuah konser musik metal yang khusus diperuntukkan untuk korban kemanusiaan di Palestina.
Dilansir dari situs Jaringan Berita Terluas Di Indonesia dalam artikel Berjihad Lewat Musik Underground, Ubah Salam Metal Jati Satu Jari Tauhid dikatakan bahwa dalam komunitas Salam Satu Jari, salam metal yang sarat dipraktekan dengan dua jari yaitu jari telunjuk dan jari kelingking, kini dipraktekkan hanya menjadi satu jari. Hal ini menandakan satu makna yaitu tauhid atau satu Tuhan yang merujuk pada Laailaha Illallah dengan tujuan membela Islam, tidak yang lain dan hanya ada satu Tuhan yaitu Allah Yang Maha Esa. Salam metal dua jari dipercaya sebagai simbol pemujaan setan, maka dari itu komunitas Salam Satu Jari ingin mengubah persepektif tersebut menjadi suatu kebenaran.
Mempraktekan simbol metal dengan dua jari bagi komunitas ini merupakan konsep satanisme. Salah satu vokalis band metal yang tergabung dalam komunitas ini yaitu vokalis dari band Tengkorak, Ombat, mengatakan bahwa konsep satanisme digunakan oleh band-band metal sebagai sebuah kreativitas dalam aksi panggung. Seiring berjalannya waktu dengan perkembangan teknologi yang tinggi dan menghilangkan batasan-batasan antar belahan dunia, membuat musik metal menyebar dan berkembang yang kemudian meraup banyak penggemar musik ini. Tak ayal, banyak dari band-band metal ini secara tak sadar menggerakan massa untuk menggunakan simbol yang menyekutukan Tuhan. Fenomena ini juga dianggap sebagai cara penjajahan baru yang digunakan zionis dan kaum sekuler untuk menjauhkan anak muda dari agama.

Metal Satu Jari Ala Tengkorak (Photo: Hai Online)

Kini, komunitas Salam Satu Jari menjadi sebuah gerakan metal muslim yang menjunjung nilai-nilai keislaman dan telah tersebar di penjuru Indonesia seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, hingga Makassar. Kegiatan gerakan Salam Satu Jari ini diantaranya adalah ketika pertunjukan musik underground sedang berlangsung, mereka akan mengumandangkan takbir di sela-sela pertunjukan. Mereka juga menghentikan acara ketika adzan berkumandang dan melaksanakan salat secara berjamaah.
Salah satu band metal ternama Indonesia yang juga tergabung dalam gerakan ini adalah Purgatory yang menyisipkan pesan positif dalam setiap liriknya. Purgatory menyatakan bahwa mereka berbeda dengan band-band metal lainnya karena mengajak para penikmat musik metal untuk berpegangan pada tauhid yang murni.  Pada album-albumnya, Purgatory secara terang-terang menyerukan taujih ruhiyah, obsesi terhadap akhirat, dengan musik mereka. Semua lagu yang mereka gemakan mengandung nilai amar ma’ruf nahi munkar, sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat dan dalam syariat Islam hukumnya adalah wajib.
Pada abad ke-14, di tanah Jawa terdapat sebuah kegiatan penyebaran agama Islam oleh wali songo yang berdakwah dengan wayang kulit, gamelan, dan filosofi simbol pada orang-orang kejawen, yang pada saat itu masih menganut animisme dan dinamisme. Terkait dengan dakwah agama Islam pada masa kini, Purgatory melalui Salam Satu Jari juga berdakwah dengan musik metal kepada orang-orang metal untuk membebaskan mereka dari paham sesat yang sering terdapat dalam lagu-lagu metal bersimbol kepala kambing dan pentagram.
Band-band metal yang tergabung dalam gerakan Salam Satu Jari ini menyatakan diri mereka berbeda dengan kebanyakan band metal lainnya, merujuk pada  prinsip dan idealisme Islam dan anti-Zionis yang diusung. Dari segi lirik, tentunya juga terdapat perbedaan dengan lirik lagu metal lain yang bertema anti Tuhan, memuja setan, dan kebebasan. Contohnya, lirik-lirik lagu Tengkorak yang berpedoman pada sirah nabawi, Al-Quran, dan hadist yang merupakan perjuangan anak band underground untuk berjihad dengan musik.
Dikatakan juga bahwa awal kemunculan gerakan Salam Satu Jari terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu di mana beberapa band metal seperti Tengkorak dan Purgatory mendapatkan hidayah dan tersadar bahwa karya musik mereka adalah konspirasi Barat untuk merusak generasi muda. Sejak saat itu, mereka memutuskan membawakan aliran musik tauhid. Meskipun alirannya tetap metal yaitu terdiri dari komposisi musik yang keras dan tempo yang cepat, lirik yang disajikan memiliki pesan anti pemurtadan oleh Israel dan Amerika Serikat.
Di masa kini dengan gempuran globalisasi yang makin menghilangkan batasan-batasan, gerakan Salam Satu Jari meyakini bahwa menyebarnya kajian seni, dalam hal ini musik metal, yang dialirkan dari Barat memiliki makna-makna tersembunyi. Gerakan ini meyakini bahwa negeri Zionis dan Amerika Serikat tidak memerlukan serangan fisik untuk menghancurkan negara-negara Muslim, melainkan hanya menyerang melalui budaya yang meliputi seni dan gaya hidup seperti penggunaaan obat-obatan terlarang, minuman keras, dan aliran musik underground yang mendewakan simbol setan dan anti-Tuhan. Dalam dunia musik internasional, banyak penikmat musik underground yang benar-benar menyembah simbol-simbol setan, dajjal, dan simbol okultisme atau aliran ilmu sihir yang berasal dari Yahudi. 
Dari fenomena tersebut, gerakan metal satu jari tersadarkan bahwa musik bisa menjadi alat dan doktrin untuk pembodohan. Maka dari itu, gerakan Salam Satu Jari hadir sebagai sarana dan wadah yang membangun perspektif baru yaitu bermusik, tetapi punya moralitas dan tetap religius. Gerakan ini sangat meyakini bahwa Islam adalah agama universal dan diterima semua kalangan bahkan meyakini bahwa pemuja setan dapat bertobat dan memeluk Islam jika media dakwah yang disampaikan sesuai dengan kehendak hati mereka. 

Salam Satu Jari (Photo: kaskus.co.id)

Melalui fenomena gerakan Salam Satu Jari ini tergambarkan bahwa konsep agama sebagai produk globalisasi makin terlihat, telah dijelaskan sebelumnya bahwa adanya suatu keteraturan umum yang dibangun dalam lingkup tersebut dan adanya pemahaman mengenai dunia. Hal ini didasarkan pada pondasi dasar dari agama adalah untuk memahami dunia yang membuat globalisasi memiliki relasi yang kuat dalam lingkup agama. Agama dalam subjek modern merupakan istilah untuk mendefinisikan gejala umum yang membuat manusia harus memahami konteks masyarakat yang berbeda. Muncullah kegiatan mengkategorisasikan the others yang merupakan konstruksi individu terhadap yang ”lain” yang membuktikan bahwa adanya cara melihat dunia atau cara melihat yang lain dalam kategoriasi terhadap orang yang berbeda dengan diri kita.
Gerakan Salam Satu Jari menjadi contoh dari kajian subjek agama modern karena mereka membedakan ”yang lain” yaitu yang menganut konsep satanisme, zionis, juga bisa disebut ajaran sesat atau orang kafir. Karena ada pengkategorisasian terhadap ”yang lain” dan dianggap sesat atau tidak benar, gerakan Salam Satu Jari bermaksud untuk ”mencerahkan” manusia yang lain tersebut. Terjadi moral time di mana gerakan Salam Satu Jari ini memberikan pesan-pesan yang mereka anggap positif dan mengajak penikmat musik underground untuk mengikuti jalan yang benar atau dengan kata lain ”mencerahkan” melalui salam satu jari yang berarti Tuhan hanyalah satu, yaitu Allah.
Peperangan melawan westernisasi juga tergambarkan dari bagimana gerakan ini memerangi ideologi Barat, dalam kasus ini adalah westernisasi. Dikatakan bahwa gerakan Salam Satu Jari menentang keras ideologi-ideologi Barat yang mereka bawa ke seluruh dunia melalui media massa seperti film, musik, dan buku seperti kegiatan memuja minuman keras dan seks bebas. Metal yang sebelumnya militan, kini dianggap tidak militan karena sudah masuk dalam dunia hedonis, yang dalam hal ini merupakan konsepsi masyarakat Barat. Gerakan Salam Satu Jari memiliki misi untuk mengubah pespektif dunia metal dan musik underground agar tidak terjerumus dalam dunia gelap seperti yang dianut oleh masyarakat Barat. Strategi ini dianggap oleh pengikut gerakan Salam Satu Jari dengan perang ideologi yang mana musik menjadi sebuah senjata untuk melawan dan bertahan dari fenomena westernisasi.
Dalam hal ini, terlihat adanya transformasi sosial yang disebabkan oleh proses akumulasi global yaitu westernisasi yang seolah-olah “menyerang” seluruh belahan dunia, terutama ke Asia yang notabenenya merupakan negara dunia ketiga. Transformasi sosial ini disebabkan karena adanya kontak dengan kebudayaan lain yaitu melalui musik. Transformasi yang terjadi dalam aspek budaya yaitu lingkup seni musik beraliran metal dan underground, di mana biasanya metal didefinisikan sebagai aliran musik yang sesat karena sarat akan simbol-simbol pemujaan setan. Dari fenomena yang telah tertanam oleh banyak orang tersebut, gerakan Salam Satu Jari membuat perubahan mengenai perspektif metal sebagai aliran musik yang ternyata tidak sarat akan perkumpulan orang sesat, namun juga bisa menjadi suatu gerakan yang mengajarkan kebenaran dan sarana ”mencerahkan” terhadap ”yang lain”.

Referensi:

Escobar, A.
1995. Encountering Development. New Jersey: Princeton University Press.
Geertz, Clifford
1966. Anthropological Approaches to the Study of Religion. London: Tavistock Publications
Madjid, Nurcholis
1998. Islam, Kemodernan, dan Keindoonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan.

Internet:
Artikel Berjihad Lewat Musik Underground, Ubah Salam Metal Jadi Satu Jari Tauhid dalam situs Jaringan Berita Terluas di Indonesia http://www.jpnn.com/read/2011/03/09/86165/Berjihad-lewat-Musik-Underground,-Ubah-Salam-Metal-jadi-Satu-Jari-Tauhid- 

Artikel Respon Umat Islam Terhadap Globalisasi dalam situs Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Surabaya http://inpasonline.com/new/respon-umat-islam-terhadap-globalisasi/ 

Artikel The Black Revolution, A Review of Heavy Metal Islam: Rock, Resistance, and the Struggle for the Soul of Islam by Mark LeVine http://www.criticalglobalisation.com/Issue%201/141_144_JCGS1_HOUWELINGEN_HEAVYMETALISLAM.pdf 


Dilema Dikotomi Esensialisme dan Konstruksi Sosial Dalam Kajian Seksualitas

Jika berbicara mengenai kajian seksualitas, pastilah tidak terlepas dari dikotomi teori esensialisme dan konstruksi sosial.  Sebelum menelaah lebih lanjut mengenai perdebatan dikotomi antara esensialisme dan konstruksi sosil, ada baiknya untuk menelusuri apa yang dimaksud dengan seksualitas. Seksualitas merupakan aspek sentral manusia sepanjang hidup yang mencakup seks, identitas, peran gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, keintiman dan reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, keyakinan, sikap, nilai, dan relasi. Meskipun seksualitas dapat mencakup semua dimensi tersebut, namun tidak semuanya selalu dialami. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, etika, hukum, sejarah, serta agama dan spiritual.

(Photo: andiegoddesofpickles.bogspot.com)

Teori esensialisme hanya mengakui keberadaan dua identitas yaitu perempuan dan laki-laki, juga dengan pandangan bahwa perempuan harus berperilaku sesuai konsepsi perempuan yang telah ada di masyarakat, begitu pula dengan laki-laki. Teori esensialisme juga mengakui adanya satu orientasi seksual, yaitu heteroseksual. Esensialisme melihat bahwa adanya hakikat secara absolut pada seksualitas dan menggunakan sebutan takdir ketika membicarakan permasalahan seksualitas yang mana tidak dapat diganggu gugat pembenarannya. Esensialisme menganggap bahwa sexual attract seperti ketertarikan dan orientasi seksual itu inheren, tidak bisa diubah dan didapati sejak lahir. Esensialisme juga mempercayai bahwa hormon dan pengaruh genetik mempengaruhi seksualitas.

Lain halnya dengan teori konstruksi sosial, teori ini melihat bahwa realitas yang kita ketahui dan alami sekarang, munculnya adalah dengan proses konstruksi masyarakat. Perspektif ini melihat bahwa gender bukan merupakan sesuatu yang inheren, tetapi didapatkan dari masyarakat dari interaksi. Sebagai contoh, kita mendapat peran yang kita punya sekarang dan bahasa berperan penting dalam realita sosial yang kita miliki. Kate Millet (Sexual Politics, 1949) melihat bahwa gender bukan pembawaan biologis, melainkan dikonstruksi secara sosial dan dilanggengkan oleh institusi sosial dan konstruksi kekuasaan.

Perdebatan mengenai esensialis dan konstruksi sosial terus berkembang hingga sekarang. Sejarah mengenai pembangunan seksualitas modern tidak boleh luput, seperti adanya kepentingan negara dalam mengatur seksualitas (sexuality as a contested domain). Pendekatan konstruksi sosial mengadopsi pandangan tindakan seksual yang mana konstruksi ini tidak hanya mempengaruhi subyektivitas individu dan perilaku seperti frame budaya. Dalam cultural-influence models of sexuality, adanya pengaruh budaya dalam mempengaruhi tindakan sosial seperti sex causes gender (menstruasi dan kehamilan adalah hal yang alamiah dan esensisal) dan gender causes sex (hal yang dibuat oleh masyarakat seperti laki-laki harus bekerja dan perempuan harus berada di domestik).

Esensialisme dan konstruksi sosial adalah perihal-perihal yang selalu memperdebatkan posisi seksualitas dalam masyarakat. Esensialisme berangkat dari pendekatan biomedis yang melihat bahwa sex adalah inheren, hasrat seksual dan ketertarikan seksual adalah inheren. Sedangkan, pada persepektif konstruksi sosial, seksualitas manusia lebih dibentuk oleh lingkungan sosial dan budaya juga sejarah.

Dari pemaparan mengenai esiensialisme dan konstruksi sosial yang seolah-olah bertentangan, mengantarkan kita pada pertanyaan: apakah kita harus mempunyai pandangan yang berbeda? Dengan berpikir bahwa seksualitas adalah inheren secara biologis? Atau seksualitas adalah bentukan masyarakat? Pada kenyataannya, kita harus menyadari ada aspek-aspek biologis yang berpengaruh pada seksualitas dalam diri kita, dan ada juga kehidupan sosial yang dipengaruhi konstruksi sosial dan budaya. Sebagai contoh dalam proses hubungan seksual antar suami istri, istri melakukan hubungan seksual karena wajib, bukan karena kepuasan seksual itu sendiri. Mungkin secara biologis perempuan tidak dapet kepuasan, tetapi dari segi sosial, hal tersebut merupakan kewajiban.

Contoh lainnya adalah konsep virginity atau keperawanan. Konsep virginitas yang sarat akan esensialis yaitu berhubungan dengan sistem reproduksi, dibentuk oleh masyarakat. Sebagai contoh mengapa perempuan sangat gelisah ketika sudah melakukan hubungan seksual? Cara pandang yang esensialis, namun juga dibentuk atau dikonstruksi oleh masyarakat. Dari dua contoh tersebut, makin mengantarkan saya pada pertanyaan yang telah saya ungkapkan diatas: apakah kita harus memiliki cara pandang yang berbeda, yang murni esensialis atau murni konstruksi sosial?

Referensi:
DeLamater, J.D  and Hyde, J.S.

1998. Essentialism vs. Social Constructionism in the Study of Human Sexuality. Journal of Sex Research 35 (1): 10-18