Penduduk yang tinggal di
perkotaan makin bertambah seiring berjalannya waktu. Tak hanya di kota-kota besar di Indonesia,
fenomena ini juga terjadi di kota-kota di seluruh dunia. Di negara berkembang,
khususnya, kepadatan penduduk ini menimbulkan banyak dampak seperti
kemiskininan, kurangnya lahan pekerjaan, terjadinya ledakan urbanisasi, hingga permasalahan
ketersedian pasokan pangan. Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, muncul
salah satu tipe baru pertanian yang multi-fungsi untuk masyarakat kota dalam
hal sosial maupun ekonomi yaitu pertanian perkotaan atau yang lebih dikenal
dengan nama urban farming.
Kegiatan urban farming di kota-kota besar di seluruh dunia makin marak
digalakkan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana pengetahuan masyarakat mengenai
jumlah dan distribusi penduduk yang mengantarkan mereka untuk berpikir dalam
menilai ulang bagaimana pola konsumsi dan gaya hidup, salah satunya dengan urban farming. Dikarenakan masyarakat
melihat bagaimana komposisi penduduk yang semakin tahun semakin bertambah
kepadatannya, makin terlihat pula permasalahan yang ada dibaliknya. Permasalahan
tersebut diantaranya adalah ketersediaan pasokan pangan.
Makin berkurangnya lahan karena kepadatan penduduk
menyebabkan harga pangan makin melambung. Masyarakat pun harus mencari cara membuka
lahan baru pertanian. Selain itu, produk pertanian sangat bergantung pada alam,
cuaca, dan proses pengerjaannya. Ketika cuaca tidak menentu, petani harus
mengalami kerugian dan gagal panen yang mengantarkan produk pertanian tertentu
langka dan harganya mahal. Belum lagi maraknya penggunaan pestisida yang
menyebabkan sayur mayur dan buah-buahan mengandung racun juga tingkat kesegaran
pasokan pangan tersebut. Maka dari itu, banyak masyarakat yang memanfaatkan
lahan mereka di perkotaan untuk menghasilkan produk pertanian seperti sayuran
dan buah-buahan. Lahannya meliputi ruang sempit sekitar teras rumah hingga atap
bangunan. Hal tersebutlah yang membuat urban
farming menjelma menjadi gaya hidup orang-orang perkotaan karena mereka
cenderung ingin hidup lebih normal, sehat, dan mendapatkan pangan yang bergizi,
sehat, harganya terjangkau dan bebas dari pestisida.
Urban farming kemudian menjadi satu kegiatan yang dilakukan
masyarakat perkotaan terkait resiko yang mereka hadapi yakni permasalahan ketersediaan
bahan pangan dan lingkungan hidup. Diharapkan urban farming dapat menjadikan sumber makanan bagi penduduk
perkotaan, baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk diperjualbelikan.
Pentingnya urban farming adalah
kegiatan ini memasok pangan yang segar dan aman, hal ini dikarenakan masyarakat
perkotaan sendiri yang menanam dan merawat tanaman tersebut. Berbeda dengan
halnya jika mereka membeli pangan seperti sayur mayur di pasar yang mana sering
mendapatkan kondisinya sudah tidak segar dan tidak aman karena menggunakan
pestisida.
Urban farming merupakan salah satu konsep
pertanian yang dapat dijalankan di perkotaan karena dengan urban farming diharapkan setiap penduduk kota dapat memaksimalkan
lahan yang sempit untuk kegiatan pertanian yang dialakukan secara intensif
dengan teknologi yang memungkinkan hasil yang tinggi pada lahan terbatas. Urban farming juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan
sehari-hari dengan keuangan yang dapat dijangkau, lalu juga dapat mengurangi
pencemaran udara, terutama gas CO2 yang
akan diserap oleh tanaman.
Dilansir dari enciety.com, urban
farming adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan
yang melibatkan ketrampilan, keahlian dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan tanaman dan pangan. Hal utama yang
menyebabkan munculnya aktivitas ini adalah upaya memberikan kontribusi pada
ketahanan pangan, menambah penghasilan masyarakat sekitar juga sebagai sarana
rekreasi dan hobi (2011).
Dalam jurnal “Urban Agriculture In India and Its Challange”
dipaparkan bahwa urban farming kini menjadi kegiatan yang marak
bagi masyarakat India
terutama di kota Delhi dan Mumbai. Menurut sensus penduduk tahun 2011, jumlah penduduk India
bertambah dengan jumlah 1,21 miliar jiwa selama 10 tahun terakhir,
peningkatannya sebesar 181 juta jiwa. Hal ini dikarenakan urbanisasi
berlangsung di tingkat yang lebih cepat di India . Penduduk yang tinggal di daerah
perkotaan di India ,
menurut sensus penduduk 1901, adalah 11,4%. Kemudian, meningkat menjadi 28,53%
menurut sensus penduduk tahun 2001, dan melintasi 30% per sensus penduduk 2011
menjadi 31,16%.
Pada negara berkembang seperti
India, tentunya pertambahan penduduk yang semakin padat ini menyebabkan sumber
daya menjadi langka dan terbatas. Dampak
dari ledakan populasi dalam kekurangan sumber daya yang paling dasar
adalah ketersedian pasokan pangan. Menurut sebuah artikel oleh World Bank,
"Lebih dari setengah dari semua
anak-anak di bawah usia empat tahun mengalami kekurangan gizi, 30% dari bayi
yang baru lahir secara signifikan berbadan kurus, dan 60% wanita mengalami
anemia." Peningkatan populasi masih menjadi masalah serius di India,
hal ini diyakinkan dengan fakta bahwa India menghabiskan sekitar 10 milyar
dollar setiap tahun pada malnutrisi (World Bank Group), dan bahkan kemudian
pemerintah India tidak dapat menyediakan kebutuhan gizi sehari-hari untuk semua
penduduk di India. Fenomena ini kemudian mengantarkan India harus menghadapi
permasalahan krisis harga pangan.
Krisis harga pangan dunia
baru-baru ini telah memberikan pentingnya memahami dan menghadapi penyebab
ketahanan pangan masyarakat perkotaan. Permasalahan kemudian datang bagi
masyarakat perkotaan karena mereka menjadi kelompok pembeli bahan pangan yang
tergantung pada harga dan pada persediaan pasar. Masyarakat perkotaan kemudian
dapat menjadi kelompok masyarakat yang mengalami harga pangan yang lebih
tinggi. Urban farming merupakan salah
satu solusi yang dirasakan secara global untuk memenuhi permintaan pangan
penduduk perkotaan. Ada sejumlah cara di mana urban farming pada prinsipnya dapat berdampak pada ketahanan pangan
perkotaan. Di tingkat rumah tangga, urban
farming dapat menjadi sumber penghasilan, dapat memberikan akses langsung
ke sejumlah besar pangan yang sehat dan aman juga pangan yang lebih bervariasi,
dapat meningkatkan stabilitas konsumsi pangan rumah tangga terhadap masa
musiman atau kekurangan.
Sama halnya dengan di India, penduduk
Amerika juga mulai menggalakan kegiatan urban
farming menjadi bagian dari hidup mereka. Dilansir dari jurnal ”Urban Agriculture and Community Food
Security in the United States: Farming from the City Center to the Urban Fringe”,
Pada abad ke-21, urbanisasi meningkat di seluruh dunia terutama di Amerika
Serikat sebanyak 80% penduduk tinggal di kota. Hal ini berbeda dengan 100 tahun
yang lalu ketika 50% penduduk Amerika hidup di pedesaan. Sebagai penduduk
perkotaan yang terus mengalami perkembangan, terjadi kompleksitas mengenai
bagaimana mendapatkan pasokan pangan atau dengan kata lain terjadinya ketahanan
pangan (food security) di
Amerika. Urban farming adalah salah satu kegiatan yang menjadi solusi dari
masalah ini dengan cara yang inovatif. Pengelolaan lingkungan ditingkatkan
melalui upaya urban farming.
Pembangunan ekonomi dan revitalisasi masyarakat juga dicapai melalui urban farming ketika penduduk perkotaan
mendapatkan kemampuan untuk menghasilkan dan mengelola pasokan pangan sendiri.
Kesehatan individu, pemberdayaan, dan kesejahteraan dibuat ketika penduduk kota
memiliki akses menuju kontrol yang lebih besar mengenai sistem pangan mereka
sendiri.
Mengenai ketahanan pangan di Amerika, hal ini terjadi karena banyak
penduduk Amerika mengalami kelaparan. Seperti yang dikemukakan oleh USDA,
sebanyak 31 juta jiwa mengalami rawan pangan pada tahun 1999 dan 12 juta jiwa
diantaranya adalah anak-anak. Kemiskinan adalah sumber akar dari terjadinya
ketahanan pangan. Pada tahun 2001, lebih dari 31 juta jiwa (11,3% dari
populasi) hidup di bawah angka garis kemiskinan. Setiap tahun dalam dekade
terakhir semakin banyak keluarga di Amerika melaporkan bahwa mereka kehabisan
makanan dan tidak punya uang untuk membeli makanan yang lebih banyak.
Ketahanan pangan tentunya mempengaruhi kualitas hidup penduduk perkotaan
dalam beraktivitas sehari-hari. Kelaparan dan gizi buruk juga terkait dengan
peningkatan penyakit menular, faktor risiko penyakit kronis seperti diabetes,
hipertensi, dan gagal jantung. Bahkan ketika pendapatan penduduk perkotaan
tercukupi, bahan pangan tidak selalu begitu mudah diakses. Banyak supermarket
yang ditutup atau dipindahkan dari kota karena daya saing pasar yang kompleks
terkait dengan pemiskinan. Lalu, toko kelontong yang tersisa di perkotaan biasanya
cenderung menaikkan harga, bahkan pada makanan pokok.
Jadi, ironisnya, orang-orang yang berpenghasilan terbatas di perkotaan
cenderung mengeluarkan lebih banyak uang untuk pasokan pangan mereka. Kisaran, kesegaran, dan kualitas makanan juga sering dikompromikan dalam
bahan pangan dalam kota, dengan demikian semakin membatasi pilihan maksimal pelanggan
untuk makanan bergizi dengan harga terjangkau. Program urban farming dapat membangun ketahanan pangan masyarakat dengan
meningkatkan kuantitas, kualitas, keteraturan dan keseimbangan gizi terhadap
pasokan makanan, sehingga dapat mengatasi permasalahan tersedianya bahan pangan
yang sehat dan bergizi, berkaitan dengan kesehatan mereka.
Urban farming memberikan kontribusi terhadap
ketahanan pangan karena penduduk perkotaan mengurangi ketahanan pangan mereka
sendiri dan mereka bisa memperjualbelikannya pada penduduk lain. Sayuran segar dan buah yang diproduksi dari urban farming memiliki dua kali vitamin
dan mikro-nutrisi penting yang tersedia dari produk supermarket dengan harga
yang sama. Pangan yang
diperoleh dari urban farming juga
dibuktikan lebih aman dan dibandingkan dengan produk pertanian industri yang
biasanya membutuhkan perjalanan jarak jauh demi mencapai pasar di perkotaan. Urban farming menghasilkan berbagai
produk yang baik dan cocok untuk kebutuhan pangan dan tuntutan populasi
perkotaan yang beragam, sehingga meyakinkan mereka pada program diet yang lebih
seimbang. Selain itu, urban farming
melestarikan sumber daya alam dan memberikan kontribusi untuk lingkungan hidup yang
sehat.
Salah satu kota yang sudah
menggalakan kegiatan urban farming di
Indonesia adalah Surabaya. Dilansir dari laman SWA Online, walikota Surabaya yakni Tri Rismahari mengatakan bahwa ia
menggalakan kegiatan urban farming pada masyarakat Surabaya . Dikatakan bahwa penduduk Surabaya
kini berjumlah sekitar 3 juta dengan luas wilayah 330 km pesegi. Tri Rismahari
berupaya menjadikan Kota Surabaya sebagai eco-city
dan mengajak masyarakat Surabaya untuk mengerti
dan mencintai lingkungan.
Kegiatan urban farmingSurabayauntuk menyeimbangkan ketersedian pangan yang
sehat juga dilakukan untuk membantu perekonomian warga Surabaya . Contohnya seperti kampung
budidaya padi dan lombok di Kelurahan Bangkingan dan Kelurahan Made. Setiap
hari, cabe dari dua kelurahan tersebut dikirim ke Tangerang dan Palembang
sebanyak 40 ton.
Maraknya
kegiatan urban farming khususnya di Indonesia juga ditandai dengan lahirnya suatu
komunitas bernama Indonesia Berkebun yang kini memiliki ribuan anggota dari
berbagai kota-kota besar di Indonesia .
Indonesia Berkebun adalah suatu gerakan atau komunitas yang mendukung penanaman
pangan di perkotaan atau dengan kata lain melakukan pertanian di perkotaan
seperti di teras dan atap rumah. Penulis berkesempatan mewawancarai Sigit
Kusumawijaya selaku salah satu inisiator Indonesia Berkebun pada tahun 2012
lalu. Dipaparkan oleh Sigit bahwa Indonesia Berkebun memiliki konsep yang
berbasis pada 3E yaitu ekologi, edukasi, dan ekonomi.
Secara
ekologi, Indonesia Berkebun ingin mengembalikan lahan yang tidak terpakai di
daerah perkotaan. Kemudian, konsep edukasi dibawa oleh Indonesia Berkebun
karena adanya keinginan untuk mengedukasi masyarakat agar masyarakat memilki
ketahanan pangan. Jika harga pangan naik karena impor, masyarakat yang berkebun
akan lebih gampang mendapatkan tanaman yang ditanam dengan tidak mengeluarkan
biaya yang lebih besar. Masyarakat mulai menanam tanaman yang produktif dan
dapat dikonsumsi seperti bayam, sawi, tomat, dan cabai di rumah masing-masing (home farming). Jika masyarakat dapat
menerapkan kegiatan ini diharapkan saat harga bahan pangan naik, mereka tidak
akan kena dampak karena bisa memetik di rumah.
Edukasi
juga dilakukan agar masyarakat memiliki pola hidup yang lebih sehat, dalam arti
menanam sayuran yang organik. Masyarakat menanam sendiri, maka dari itu mereka
mengetahui prosesnya. Jika membeli bahan pangan di supermarket atau di pasa,
mereka tidak tahu apakah sayuran atau buah yang mereka beli organik dan juga
pastinya lebih mahal jika membeli di supermarket. Jika menanam sendiri,
masyarakat mengetahui prosesnya, meskipun ada yang berlubang-lubang, tetapi
sehat dan tidak memakai pestisida. Dari
sisi ekonomi, hasil dari kebun tersebut bisa mereka jual dan menjadikannya sebagai
pendapatan mereka sendiri.
Gaynor
(2006) menyatakan bahwa motivasi yang dialami penduduk untuk melakukan kegiatan
urban farming bervariasi dan tergantung pada pergesaran konteks lingkungan,
ekonomi, dan budaya. Seperti pada penduduk perkotaan di Australia mereka
melakukan kegiatan urban farming dan
menghasilkan produk pangan yang segar, sehat, dan berbeda dari produk pangan
komersial. Motivasi mereka adalah memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan penduduk
perkotaan lainnya, terkait koenteks ekonomi dan budaya karena mereka berhasil
melangsungkan kehidupan mereka dengan memanfaatkan alamnya sendiri yang juga
mengantarkan mereka memenuhi kebutuhan perekonomian.
Merujuk
pada populasi yang terus meningkat dan ketersediaan pangan yang makin menipis,
terdapat manfaat sosial dari urban farming terkait ketahanan pangan yang
mengantarkan kegiatan ini menjadi gaya hirup masyarakat perkotaan. Beberapa
negara maju, terutama yang sangat bergantung pada impor pangan, sangat rentan
terhadap kekurangan pangan yang mungkin dipicu oleh ketidakstabilan ekonomi
atau politik serta kekurangan produksi ahan pangan (Millstone & Lang,
2008). Oleh karena itu,
produksi pangan di kota-kota memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan
nasional.
Urban farming dijadikan gaya hidup masyarakat terkait juga dengan manfaat dari segi
ekonomi. Mereka bisa menjual produk sendiri dan juga untuk penggunaan pribadi,
hal ini menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap pengeluaran untuk bahan
pangan bagi penduduk yang melakukan kegiatan urban farming. Manfaat kesehatan
yang didapatkan juga mengantarkan urban farming menjadi gaya hidup masyarakat
perkotaan. Penduduk perkotaan pada umumnya peduli dengan kesehatan mereka
terkait produk pangan yang mereka konsumsi. Seperti sistem penyimpanan bahan
pangan, kandungan gizi, dan kesegaran produk
pangan (Feagan, 2007). Selain itu, risiko kesehatan manusia berhubungan dengan
diet kekurang gizi (malnutrisi) atau kelebihan (obesitas) berkurang ketika
individu memiliki akses dalam memproduksi bahan pangan mereka sendiri dan
jumlah makanan yang diproses (Dixon et al., 2007).
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan urban farming menjadi marak dikarenakan
sebagaian besar penduduk perkotaan sadar dan peduli akan kelangsungan hidup
mereka di tengah-tengah populasi penduduk yang makin meningkat tiap tahunnya.
Motivasi penduduk dalam terliat kegiatan urban
farming tentunya beragam yakni menghadapi tantangan lingkungan yaitu makin padatnya penduduk di
perkotaan dan makin sempitnya lahan yang tersedia, menghadapi tantangan kesehatan
terkait ketersediaan pangan, juga menghadapi tantangan ketahanan pangan.
REFERENSI:
Awasthi, Pranati
2013. Urban Agriculture in India
and Its Challanges. Infrastructure Systems, CTRANS: International Journal of Environmental Science: Development and
Monitoring
Brown,
Katherine H.
2002. Urban Agriculture and
Community Food Security in the United States :
Farming from the City
Center To the Urban
Fringe. Urban Agriculture Committee: Community Food Security Coalition
2007. The health equity dimensions of urban food systems. Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 84(1),
118-129.
Feagan, R.
2007.
The place of food: Mapping out the local‘
in local food systems. Progress in
Human Geography, 31(1), 23-42.
Gaynor, A.
2006.
Harvest of the suburbs: An environmental history of growing food in
Australian cities. Perth , Australia : University of Western
Australia Press.
Millstone, E. & Lang, T.
2008. The atlas of food: Who
eats what, where and why. London :
Earthscan.
Internet:
http://enciety.com/news-item/urban-farming-merubah-kampung-menjadi-kampus/ diakses pada Sabtu, 14 Juni 2014
http://swa.co.id/business-strategy/kota-surabaya-jumlah-penduduk-bertambah-sampah-yang-masuk-tpa-malah-berkurang?mobile=on diakses pada Sabtu, 14 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar