Minggu, 06 Juli 2014

Maraknya Kegiatan Urban Farming Akibat Bertambahnya Kepadatan Penduduk Di Perkotaan

Penduduk yang tinggal di perkotaan makin bertambah seiring berjalannya waktu. Tak hanya di kota-kota besar di Indonesia, fenomena ini juga terjadi di kota-kota di seluruh dunia. Di negara berkembang, khususnya, kepadatan penduduk ini menimbulkan banyak dampak seperti kemiskininan, kurangnya lahan pekerjaan, terjadinya ledakan urbanisasi, hingga permasalahan ketersedian pasokan pangan. Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, muncul salah satu tipe baru pertanian yang multi-fungsi untuk masyarakat kota dalam hal sosial maupun ekonomi yaitu pertanian perkotaan atau yang lebih dikenal dengan nama urban farming.
Kegiatan urban farming di kota-kota besar di seluruh dunia makin marak digalakkan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana pengetahuan masyarakat mengenai jumlah dan distribusi penduduk yang mengantarkan mereka untuk berpikir dalam menilai ulang bagaimana pola konsumsi dan gaya hidup, salah satunya dengan urban farming. Dikarenakan masyarakat melihat bagaimana komposisi penduduk yang semakin tahun semakin bertambah kepadatannya, makin terlihat pula permasalahan yang ada dibaliknya. Permasalahan tersebut diantaranya adalah ketersediaan pasokan pangan.
Makin berkurangnya lahan karena kepadatan penduduk menyebabkan harga pangan makin melambung. Masyarakat pun harus mencari cara membuka lahan baru pertanian. Selain itu, produk pertanian sangat bergantung pada alam, cuaca, dan proses pengerjaannya. Ketika cuaca tidak menentu, petani harus mengalami kerugian dan gagal panen yang mengantarkan produk pertanian tertentu langka dan harganya mahal. Belum lagi maraknya penggunaan pestisida yang menyebabkan sayur mayur dan buah-buahan mengandung racun juga tingkat kesegaran pasokan pangan tersebut. Maka dari itu, banyak masyarakat yang memanfaatkan lahan mereka di perkotaan untuk menghasilkan produk pertanian seperti sayuran dan buah-buahan. Lahannya meliputi ruang sempit sekitar teras rumah hingga atap bangunan. Hal tersebutlah yang membuat urban farming menjelma menjadi gaya hidup orang-orang perkotaan karena mereka cenderung ingin hidup lebih normal, sehat, dan mendapatkan pangan yang bergizi, sehat, harganya terjangkau dan bebas dari pestisida.
Urban farming kemudian menjadi satu kegiatan yang dilakukan masyarakat perkotaan terkait resiko yang mereka hadapi yakni permasalahan ketersediaan bahan pangan dan lingkungan hidup. Diharapkan urban farming dapat menjadikan sumber makanan bagi penduduk perkotaan, baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk diperjualbelikan. Pentingnya urban farming adalah kegiatan ini memasok pangan yang segar dan aman, hal ini dikarenakan masyarakat perkotaan sendiri yang menanam dan merawat tanaman tersebut. Berbeda dengan halnya jika mereka membeli pangan seperti sayur mayur di pasar yang mana sering mendapatkan kondisinya sudah tidak segar dan tidak aman karena menggunakan pestisida.
Urban farming merupakan salah satu konsep pertanian yang dapat dijalankan di perkotaan karena dengan urban farming diharapkan setiap penduduk kota dapat memaksimalkan lahan yang sempit untuk kegiatan pertanian yang dialakukan secara intensif dengan teknologi yang memungkinkan hasil yang tinggi pada lahan terbatas. Urban farming juga  diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dengan keuangan yang dapat dijangkau, lalu juga dapat mengurangi pencemaran udara, terutama gas CO2 yang akan diserap oleh tanaman.
Dilansir dari enciety.com, urban farming adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan yang melibatkan ketrampilan, keahlian dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan tanaman dan pangan. Hal utama yang menyebabkan munculnya aktivitas ini adalah upaya memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, menambah penghasilan masyarakat sekitar juga sebagai sarana rekreasi dan hobi (2011).
Dalam jurnal “Urban Agriculture In India and Its Challange” dipaparkan bahwa urban farming kini menjadi kegiatan yang marak bagi masyarakat India terutama di kota Delhi dan Mumbai.  Menurut sensus penduduk tahun 2011, jumlah penduduk India bertambah dengan jumlah 1,21 miliar jiwa selama 10 tahun terakhir, peningkatannya sebesar 181 juta jiwa. Hal ini dikarenakan urbanisasi berlangsung di tingkat yang lebih cepat di India. Penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di India, menurut sensus penduduk 1901, adalah 11,4%. Kemudian, meningkat menjadi 28,53% menurut sensus penduduk tahun 2001, dan melintasi 30% per sensus penduduk 2011 menjadi 31,16%.
Pada negara berkembang seperti India, tentunya pertambahan penduduk yang semakin padat ini menyebabkan sumber daya menjadi langka dan terbatas. Dampak  dari ledakan populasi dalam kekurangan sumber daya yang paling dasar adalah ketersedian pasokan pangan. Menurut sebuah artikel oleh World Bank, "Lebih dari setengah dari semua anak-anak di bawah usia empat tahun mengalami kekurangan gizi, 30% dari bayi yang baru lahir secara signifikan berbadan kurus, dan 60% wanita mengalami anemia." Peningkatan populasi masih menjadi masalah serius di India, hal ini diyakinkan dengan fakta bahwa India menghabiskan sekitar 10 milyar dollar setiap tahun pada malnutrisi (World Bank Group), dan bahkan kemudian pemerintah India tidak dapat menyediakan kebutuhan gizi sehari-hari untuk semua penduduk di India. Fenomena ini kemudian mengantarkan India harus menghadapi permasalahan krisis harga pangan.
Krisis harga pangan dunia baru-baru ini telah memberikan pentingnya memahami dan menghadapi penyebab ketahanan pangan masyarakat perkotaan. Permasalahan kemudian datang bagi masyarakat perkotaan karena mereka menjadi kelompok pembeli bahan pangan yang tergantung pada harga dan pada persediaan pasar. Masyarakat perkotaan kemudian dapat menjadi kelompok masyarakat yang mengalami harga pangan yang lebih tinggi. Urban farming merupakan salah satu solusi yang dirasakan secara global untuk memenuhi permintaan pangan penduduk perkotaan. Ada sejumlah cara di mana urban farming pada prinsipnya dapat berdampak pada ketahanan pangan perkotaan. Di tingkat rumah tangga, urban farming dapat menjadi sumber penghasilan, dapat memberikan akses langsung ke sejumlah besar pangan yang sehat dan aman juga pangan yang lebih bervariasi, dapat meningkatkan stabilitas konsumsi pangan rumah tangga terhadap masa musiman atau kekurangan.
Sama halnya dengan di India, penduduk Amerika juga mulai menggalakan kegiatan urban farming menjadi bagian dari hidup mereka. Dilansir dari jurnal ”Urban Agriculture and Community Food Security in the United States: Farming from the City Center to the Urban Fringe”, Pada abad ke-21, urbanisasi meningkat di seluruh dunia terutama di Amerika Serikat sebanyak 80% penduduk tinggal di kota. Hal ini berbeda dengan 100 tahun yang lalu ketika 50% penduduk Amerika hidup di pedesaan. Sebagai penduduk perkotaan yang terus mengalami perkembangan, terjadi kompleksitas mengenai bagaimana mendapatkan pasokan pangan atau dengan kata lain terjadinya ketahanan pangan (food security) di Amerika.  Urban farming adalah salah satu kegiatan yang menjadi solusi dari masalah ini dengan cara yang inovatif. Pengelolaan lingkungan ditingkatkan melalui upaya urban farming. Pembangunan ekonomi dan revitalisasi masyarakat juga dicapai melalui urban farming ketika penduduk perkotaan mendapatkan kemampuan untuk menghasilkan dan mengelola pasokan pangan sendiri. Kesehatan individu, pemberdayaan, dan kesejahteraan dibuat ketika penduduk kota memiliki akses menuju kontrol yang lebih besar mengenai sistem pangan mereka sendiri.
Mengenai ketahanan pangan di Amerika, hal ini terjadi karena banyak penduduk Amerika mengalami kelaparan. Seperti yang dikemukakan oleh USDA, sebanyak 31 juta jiwa mengalami rawan pangan pada tahun 1999 dan 12 juta jiwa diantaranya adalah anak-anak. Kemiskinan adalah sumber akar dari terjadinya ketahanan pangan. Pada tahun 2001, lebih dari 31 juta jiwa (11,3% dari populasi) hidup di bawah angka garis kemiskinan. Setiap tahun dalam dekade terakhir semakin banyak keluarga di Amerika melaporkan bahwa mereka kehabisan makanan dan tidak punya uang untuk membeli makanan yang lebih banyak.
Ketahanan pangan tentunya mempengaruhi kualitas hidup penduduk perkotaan dalam beraktivitas sehari-hari. Kelaparan dan gizi buruk juga terkait dengan peningkatan penyakit menular, faktor risiko penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan gagal jantung. Bahkan ketika pendapatan penduduk perkotaan tercukupi, bahan pangan tidak selalu begitu mudah diakses. Banyak supermarket yang ditutup atau dipindahkan dari kota karena daya saing pasar yang kompleks terkait dengan pemiskinan. Lalu, toko kelontong yang tersisa di perkotaan biasanya cenderung menaikkan harga, bahkan pada makanan pokok.
Jadi, ironisnya, orang-orang yang berpenghasilan terbatas di perkotaan cenderung mengeluarkan lebih banyak uang untuk pasokan pangan mereka. Kisaran, kesegaran, dan kualitas makanan juga sering dikompromikan dalam bahan pangan dalam kota, dengan demikian semakin membatasi pilihan maksimal pelanggan untuk makanan bergizi dengan harga terjangkau. Program urban farming dapat membangun ketahanan pangan masyarakat dengan meningkatkan kuantitas, kualitas, keteraturan dan keseimbangan gizi terhadap pasokan makanan, sehingga dapat mengatasi permasalahan tersedianya bahan pangan yang sehat dan bergizi, berkaitan dengan kesehatan mereka.
Urban farming memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan karena penduduk perkotaan mengurangi ketahanan pangan mereka sendiri dan mereka bisa memperjualbelikannya pada penduduk lain.  Sayuran segar dan buah yang diproduksi dari urban farming memiliki dua kali vitamin dan mikro-nutrisi penting yang tersedia dari produk supermarket dengan harga yang sama. Pangan yang diperoleh dari urban farming juga dibuktikan lebih aman dan dibandingkan dengan produk pertanian industri yang biasanya membutuhkan perjalanan jarak jauh demi mencapai pasar di perkotaan. Urban farming menghasilkan berbagai produk yang baik dan cocok untuk kebutuhan pangan dan tuntutan populasi perkotaan yang beragam, sehingga meyakinkan mereka pada program diet yang lebih seimbang. Selain itu, urban farming melestarikan sumber daya alam dan memberikan kontribusi untuk lingkungan hidup yang sehat.
Salah satu kota yang sudah menggalakan kegiatan urban farming di Indonesia adalah Surabaya. Dilansir dari laman SWA Online, walikota Surabaya yakni Tri Rismahari mengatakan bahwa ia menggalakan kegiatan urban farming pada masyarakat Surabaya. Dikatakan bahwa penduduk Surabaya kini berjumlah sekitar 3 juta dengan luas wilayah 330 km pesegi. Tri Rismahari berupaya menjadikan Kota Surabaya sebagai eco-city dan mengajak masyarakat Surabaya untuk mengerti dan mencintai lingkungan.
Kegiatan urban farmingSurabayauntuk menyeimbangkan ketersedian pangan yang sehat juga dilakukan untuk membantu perekonomian warga Surabaya. Contohnya seperti kampung budidaya padi dan lombok di Kelurahan Bangkingan dan Kelurahan Made. Setiap hari, cabe dari dua kelurahan tersebut dikirim ke Tangerang dan Palembang sebanyak 40 ton.
            Maraknya kegiatan urban farming khususnya di Indonesia juga ditandai dengan lahirnya suatu komunitas bernama Indonesia Berkebun yang kini memiliki ribuan anggota dari berbagai kota-kota besar di Indonesia. Indonesia Berkebun adalah suatu gerakan atau komunitas yang mendukung penanaman pangan di perkotaan atau dengan kata lain melakukan pertanian di perkotaan seperti di teras dan atap rumah. Penulis berkesempatan mewawancarai Sigit Kusumawijaya selaku salah satu inisiator Indonesia Berkebun pada tahun 2012 lalu. Dipaparkan oleh Sigit bahwa Indonesia Berkebun memiliki konsep yang berbasis pada 3E yaitu ekologi, edukasi, dan ekonomi.
Secara ekologi, Indonesia Berkebun ingin mengembalikan lahan yang tidak terpakai di daerah perkotaan. Kemudian, konsep edukasi dibawa oleh Indonesia Berkebun karena adanya keinginan untuk mengedukasi masyarakat agar masyarakat memilki ketahanan pangan. Jika harga pangan naik karena impor, masyarakat yang berkebun akan lebih gampang mendapatkan tanaman yang ditanam dengan tidak mengeluarkan biaya yang lebih besar. Masyarakat mulai menanam tanaman yang produktif dan dapat dikonsumsi seperti bayam, sawi, tomat, dan cabai di rumah masing-masing (home farming). Jika masyarakat dapat menerapkan kegiatan ini diharapkan saat harga bahan pangan naik, mereka tidak akan kena dampak karena bisa memetik di rumah.
Edukasi juga dilakukan agar masyarakat memiliki pola hidup yang lebih sehat, dalam arti menanam sayuran yang organik. Masyarakat menanam sendiri, maka dari itu mereka mengetahui prosesnya. Jika membeli bahan pangan di supermarket atau di pasa, mereka tidak tahu apakah sayuran atau buah yang mereka beli organik dan juga pastinya lebih mahal jika membeli di supermarket. Jika menanam sendiri, masyarakat mengetahui prosesnya, meskipun ada yang berlubang-lubang, tetapi sehat dan tidak memakai pestisida. Dari sisi ekonomi, hasil dari kebun tersebut bisa mereka jual dan menjadikannya sebagai pendapatan mereka sendiri.
            Gaynor (2006) menyatakan bahwa motivasi yang dialami penduduk untuk melakukan kegiatan urban farming bervariasi dan tergantung pada pergesaran konteks lingkungan, ekonomi, dan budaya. Seperti pada penduduk perkotaan di Australia mereka melakukan kegiatan urban farming dan menghasilkan produk pangan yang segar, sehat, dan berbeda dari produk pangan komersial. Motivasi mereka adalah memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan penduduk perkotaan lainnya, terkait koenteks ekonomi dan budaya karena mereka berhasil melangsungkan kehidupan mereka dengan memanfaatkan alamnya sendiri yang juga mengantarkan mereka memenuhi kebutuhan perekonomian.
            Merujuk pada populasi yang terus meningkat dan ketersediaan pangan yang makin menipis, terdapat manfaat sosial dari urban farming terkait ketahanan pangan yang mengantarkan kegiatan ini menjadi gaya hirup masyarakat perkotaan. Beberapa negara maju, terutama yang sangat bergantung pada impor pangan, sangat rentan terhadap kekurangan pangan yang mungkin dipicu oleh ketidakstabilan ekonomi atau politik serta kekurangan produksi ahan pangan (Millstone & Lang, 2008). Oleh karena itu, produksi pangan di kota-kota memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan nasional.
Urban farming dijadikan gaya hidup masyarakat terkait juga dengan manfaat dari segi ekonomi. Mereka bisa menjual produk sendiri dan juga untuk penggunaan pribadi, hal ini menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap pengeluaran untuk bahan pangan bagi penduduk yang melakukan kegiatan urban farming. Manfaat kesehatan yang didapatkan juga mengantarkan urban farming menjadi gaya hidup masyarakat perkotaan. Penduduk perkotaan pada umumnya peduli dengan kesehatan mereka terkait produk pangan yang mereka konsumsi. Seperti sistem penyimpanan bahan pangan, kandungan gizi, dan kesegaran  produk pangan (Feagan, 2007). Selain itu, risiko kesehatan manusia berhubungan dengan diet kekurang gizi (malnutrisi) atau kelebihan (obesitas) berkurang ketika individu memiliki akses dalam memproduksi bahan pangan mereka sendiri dan jumlah makanan yang diproses (Dixon et al., 2007).
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan urban farming menjadi marak dikarenakan sebagaian besar penduduk perkotaan sadar dan peduli akan kelangsungan hidup mereka di tengah-tengah populasi penduduk yang makin meningkat tiap tahunnya. Motivasi penduduk dalam terliat kegiatan urban farming tentunya beragam yakni menghadapi tantangan  lingkungan yaitu makin padatnya penduduk di perkotaan dan makin sempitnya lahan yang tersedia, menghadapi tantangan kesehatan terkait ketersediaan pangan, juga menghadapi tantangan ketahanan pangan.

REFERENSI:

Awasthi, Pranati
2013. Urban Agriculture in India and Its Challanges. Infrastructure Systems, CTRANS: International Journal of Environmental Science: Development and Monitoring

Brown, Katherine H.
2002. Urban Agriculture and Community Food Security in the United States: Farming from the City Center To the Urban Fringe. Urban Agriculture Committee: Community Food Security Coalition

Dixon, J., Omwega, A., Friel, S., Burns, C., Donati, K. & Carlisle, R.
2007. The health equity dimensions of urban food systems. Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 84(1), 118-129.

Feagan, R.
2007. The place of food: Mapping out the local‘ in local food systems. Progress in Human Geography, 31(1), 23-42.

Gaynor, A.
2006. Harvest of the suburbs: An environmental history of growing food in Australian cities. Perth, Australia: University of Western Australia Press.

Millstone, E. & Lang, T.
2008. The atlas of food: Who eats what, where and why. London: Earthscan.

Internet:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar